Agen Poker Terpercaya
close

www.3MPOKER1.com Agen Judi Online Terbesar, Terbaik dan Terpercaya. Menyediakan 7 Games 1 ID Menarik Seperti : CEME-KELILING , CAPSA , DOMINO , CEME , OMAHA , SUPER-10 Dan POKER , Bonus Bulanan , Bonus Refferal 10% , Bonus New Member 10% , Bonus harian 5.000 , Bonus Rollingan 0,3 - 0,5% , Support Bank : BCA , BNI , BRI ,CIMB , DANAMON Dan MANDIRI Dan Deposit Via Pulsa XL Dan Telkomsel Dan Ovo Juga Ada .

About

Minggu, 12 Januari 2020

Cerita Sex Selingkuh Ngentot Sama Istri Abang Tukang Bakso

Cerita Sex - Gua gak tau siapa-siapa tetangga yang tinggal bahkan disebelah rumah gua sendiri. Tapi sebetulnya, selain karena memang gua yang kurang peduli juga karena sebelah rumah gua itu kontrakan rumah toko (ruko) yang penghuninya sering berganti seiring musim yang sedang terjadi.

Kalo musim hujan, biasanya ruko diisi sama tukang bakso. Kalo musim kemarau, diisi sama tukang cendol. Gua gak tau bakal diisi sama tukang apa kalo di Indonesia ada musim salju. Besar kemungkinan diisi sama tukang jamu.

Suatu hari, dirumah gua menggelar sebuah pertemuan yang dihadiri ratusan orang. Karena rumah gua gak cukup untuk menampung ratusan orang (rumah gua cuma cukup menampung 99 orang. Hehe) maka terpaksa harus menggelar tiker sampai keluar rumah, yaitu jalanan komplek yang sekaligus menjadi jalanan umum masyarakat sekitar menuju jalan raya utama.

Gua baru sampai rumah jam 8 malam dan cukup kaget melihat rumah gua bak studio JKT48. Gua pikir omongan nyokap dipagi hari, “Nanti malem ada acara dirumah..” cuma acara rutin macem pengajian atau arisan warga, ternyata lebih dari pada itu.

Karena enggan, “permisi-permisi..” untuk masuk ke dalem rumah, gua pun akhirnya menunggu acara selesai disebelah rumah. Diruko tukang jamu, eh, ruko tukang bakso.

Satu jam berlalu sambil ngobrol ngalor-ngidul sama kang bakso yang tau muka tapi tidak tau nama gua, begitu pun dengan gua sendiri. Akhirnya kami pun berkenalan. Dan akhirnya kang bakso yang bernama Mas Mujiono ini gua pake. Yakali!

Mas Muji, begitu biasa dia disapa, usianya hampir 50 tahun. Dia baru punya satu anak perempuan, namanya Ria. Usianya tak lebih dari 10 tahun. Sedang lucu-lucunya. Waktu gua ngobrol sama Mas Muji, Ria beberapa kali keluar masuk menggali perhatian gua yang sebelumnya, saat pertama kali melihat dia, gua menggodanya. Anak kecil tau sendiri kalo digodain, maunya terus dan terus.

Karena tak kuat menahan kencing, gua pun meminta izin Mas Muji untuk pakai kamar mandinya. Mas Muji kemudian mempersilahkan gua setelah sebelumnya masuk ke dalam. Besar kemungkinan dia sedang membersihkan kamar mandinya agar “layak dipinjam”.

Ruko Mas Muji ini memiliki tiga ruangan/petak. Petak pertama tempatnya berjualan, petak kedua kamar tidur, dan petak terakhir dapur serta kamar mandi. Lebarnya 4 meter dan panjang 10 meter. Yang berminat ngontrak silahkan pm. Lah!

Saat masuk kedalam, menuju kamar mandi, ada istri Mas Muji, sedang menonton tv. Karena gua diantar Mas Muji, gua pun hanya sepintas lalu melihat istrinya yang sedang ‘diusel-usel’ sama Ria.

Setelah selesai buang hajat, (yap, abis kencing, mendadak gua mau boker) gua pun keluar kamar mandi. Saat baru saja keluar dari area dapur memasuki area kamar tidur, Ria (kembali) ngajak bercanda. Dia sembunyi dibalik tembok, kemudian seperti seolah-olah mengagetkan gua sembari memeluk sekitaran kaki dan paha gua sambil tertawa cekakakan.

Mas Muji yang sedang melayani pembeli terdengar memperingatkan buah hatinya itu untuk tidak mengganggu. Tapi apakah gua merasa terganggu? Tentu tidak. Kejadian itu gua manfaatkan untuk melihat dengan seksama sosok istri Mas Muji.

“Wow..” Gerak mulut gua saat melihatnya. Istri Mas Muji kemudian meminta Ria untuk kembali anteng atau duduk dikasur. Gua sempat tersenyum dan menganggukkan kepala saat saling menatap dengan istri Mas Muji. Dia pun balas tersenyum dan mengangguk.

Mas Muji ini sepertinya punya aji-ajian dari mbah dukun. Karena kalo dicari alasan logis perempuan muda, cantik, dan bahenol macam istrinya ini mau ‘diajak’ susah menjalani hidup sama dia, gua gak nemuin.

Istrinya Mas Muji ini cuantik, rek!

Untuk bersanding sama lelaki umur 50 tahunan yang berprofesi sebagai kang bakso, istrinya malah bisa dibilang cantik banget.

Bukan bermaksud merendahkan tukang bakso, tapi wajarnya perempuan cantik yang umurnya terpaut 20 tahun dengan seorang lelaki, cuma akan menikah sama kang korupsi, kang tender, atau kang-kang lainnya yang punya harta melimpah. Lah Mas Muji?

Nama istri Mas Muji ini tak lain dan tak bukan adalah Teh Lilis. Dia dipanggil “Teh” karena lahir dan besar di … Ambon. What? Hehe.

Teh Lilis ini aseli Ciamis. Dia berkenalan dengan Mas Muji diarea wisata pantai daerahnya. Selang sebulan perkelanannya itu, Teh Lilis dilamar dan kemudian dinikahi lalu dibojong Mas Muji ke Jakarta.

Ini yang tadi gua bilang kalo Mas Muji punya aji-ajian. Saat berkenalan dan hendak mempersunting Teh Lilis, usaha bakso Mas Muji hanyalah sekala gerobak dorong yang mana tidak mempunyai pelanggan tetap. Mas Muji mengumpulkan keuntungannya berdagang selama lebih dari 10 tahun untuk menikah dan mencari peruntungan lebih besar dengan mengontrak toko, bahasa kitanya, mangkal. Agar punya pelanggan tetap dan usaha berkembang.

Laba selama 10 tahun itulah modal Mas Muji menemui orang tua Teh Lilis dan memboyongnya ke ibu kota. Kalo Mas Muji gak punya aji-ajian, rasanya orang tua Teh Lilis enggan menyerahkan buah hatinya yang cantik nan montok itu.

Sejarah singkat diatas, disponsori langsung oleh Mas Muji sendiri (selain dugaan punya aji-ajian, tentu saja). Keabsahan dan keakuratannya jelas terverifikasi serta dapat di pertanggungjawabkan. Ngok!

Tidak ada hal istimewa yang terjadi setelah perkenalan dengan tetangga sebelah rumah gua ini. Semua kembali normal seperti biasanya, seiring selesainya acara yang berlangsung dirumah gua. Janganlah kalian berharap gua langsung doggiestlye sama Teh Lilis disaat Mas Muji menggodok gilingan baksonya, jangan! Semua berjalan seperti hari-hari sebelumnya.

Awal mula perkenalan langsung gua sama Teh Lilis adalah saat gua hendak keluar rumah. Waktu itu gua memarkirkan kendaraan disebelah rumah atau lebih tepatnya didepan ruko Mas Muji karena lupa membawa pulpen. Ou, ouw. Jangan sepelekan pulpen. Googling, ‘lost your pen’ untuk keterangan lebih lanjut.

Karena masih pagi, warung Mas Muji masih tutup. Itu kenapa gua santai aja parkir didepan rukonya. Sekembalinya mengambil pulpen, gua ketemu Ria sama ibunya yang mau berangkat ke sekolah. Gua pun dengan tulus ikhlas tanpa niat kotor mengajak mereka bareng.

Sebenarnya jarak antara area sekolahan sama rumah gua tidaklah jauh-jauh amat. Bahkan tidak lebih dari 2 km. Tapi atas dasar perputaran ekonomi, masyarakat sekitar rumah gua lebih memilih naik ojek ketimbang jalan kaki. “Bagi-bagi rejeki..” begitu alasan dari keengganan berjalan kaki masyarakat urban saat ini.

Teh Lilis awalnya sempat menolak karena mungkin malu atau segan. Tapi karena Ria langsung setuju dan naik ke dalam kendaraan, Teh Lilis tak bisa berbuat apa-apa.

Teh Lilis tampak malu dan kaku, dia membatasi gerak Ria di dalam mobil. Gua sesekali mnggoda Ria dan meng-gpp-kan usaha Teh Lilis meredam tingkah random anaknya. “Gpp, Mba.. Ih, si Mba, kaya gak pernah kecil aja..”

“Bapaknya mana? Masih tidur ya?” Kata gua, bertanya pada Ria yang tampak antusias (mau gua sebut ‘norak’ ga tega) mencet-mencet dan melihat monitor didepannya. Ria hanya menjawab sepintas lalu tanpa melihat kearah gua, “Iya..” katanya.

Teh Lilis yang menyadari tingkah anaknya menggelengkan kepala dan tersenyum malu. Karena anaknya tak menggubris, gua pun lalu mengajak berbicara ibunya. Eaaa. Kalo kata pepatah, “Habis jatuh tertiban janda”

Kalo kata orang jawa, malahane.

“Mba, siapa namanya?”
“Lilis..”
“Aslinya juga satu daerah sama Mas Muji?”
“Oh, ngga. Saya mah dari Ciamis..”
“Ooh, urang sunda. Teteh, dong ya, manggilnya..”
“Hehe, iya..”

Lagi-lagi kalian jangan berharap gua langsung akan meng-wot-kan Teh Lilis didalam mobil. Karena tak lama dari obrolan perkenalan diatas, kami tiba diarea sekolahan. Lagipula masih ada anak dibawah umur.

Setelah kami berpisah semuanya kembali normal seperti biasanya lagi. Tak ada niat kotor, tak ada pikiran mesum, meski bertemu dan bertukar senyum dengan Teh Lilis di hari-hari berikutnya.

Sampai akhirnya, awal mula kemesuman yang kalian tunggu-tunggu hadir juga.

Gua kedatangan tamu dari jauh, seorang teman lama. Kolega gua dalam usaha membawa cewe-cewe mabuk ke dalam gubuk.

Namanya Udjo. Saat ini dia sudah tinggal diluar kota bersama istri, anak, dan ibu mertuanya. Sepaket.

Gua mengajak Udjo makan bakso ditempat Mas Muji karena enggan menambah kemacetan ibu kota diakhir pekan. Entah karena akhir pekan atau habis hujan, ruko Mas Muji kebanjiran pembeli.

“Alhamdulillah, ya Mas kebanjiran pembeli, bukan kebanjiran air got!” Kata gua, coba mencairkan raut sibuk Mas Muji sehingga membuatnya tertawa. Karena ramai, tentu saja, Teh Lilis membantu suaminya melayani pembeli.

Saat itulah, Udjo memberi kode dengan menyolek-nyolek paha gua. Semacam isyarat yang berbunyi, “Bro, Anjirr. Bininya cakep bener nih tukang bakso!”
Gua hanya tersenyum dan sesekali menghentikan colekan Udjo. “Lu kata gua sabun!” kata gua juga dalam bahasa isyarat. Isyarat laraswati~

Gua sama Udjo pun terlibat obrolan tanpa suara saat menunggu baksonya datang. Kalian tau macam mana obrolan tanpa suara, kan? Taulah, pasti. Haha.

Gua menyikut Udjo saat dia mulai ekstrim memandang Teh Lilis yang entah sedang mengambil kembalian atau mencuci mangkok. “Lah, elu mah enak, mau ngeliatin dia pake muka mesum macam apa juga gak masalah. Gua, yang gak enak!” Kata gua saat kembali berbincang dirumah.

“Tapi asli, bro. Itu tadi mbanya boleh tuh, asli. Lah, lakinya aja udah aut, bro!”
“Aut?” Tanya gua, gak ngerti.
“Iya, aut. Tua, bego!” Jawabnya menjelaskan sambil tertawa.

Cerita Dewasa Selingkuh - Gua pun tertawa dan mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Tapi Udjo seperti sudah dirasuki iblis mesum piaraan gua sendiri. Dia berkata dengan begitu yakin, “Kalo gua jadi lu, bro. Gua sikat tuh bininya kang bakso! Asli!”
“Sikat, ndasmu sempal!” Balas gua menyudahi kemesuman yang ada.

***

Udjo benar-benar menginspirasi gua untuk menggagahi Teh Lilis. Dia seolah memberikan gua keyakinan kalo Teh Lilis pasti mau diajak selingkuh. “Asli, pasti mau!” begitu kata Udjo, dengan keyakinan tingkat wali.

Dan, iblis pun menyusun situasi mesum untuk gua.

Malam itu gua sampe rumah sudah sangat larut, sekitar jam 1an. Gua ngeliat Teh Lilis sedang belanja diwarung klontong milik orang Madura, yang pernah gua tanya, “Buka 24 jam ya pak?” Dijawab, “Ngga, cuma sampe pagi kok..” Okee.. Makasih pak.. ~

Setelah markir kendaraan, gua bergegas ke warung klontong itu yang jaraknya tak jauh dari rumah gua.

“Eh, Teh Lilis.. Belum tidur, Teh?”
“Oh, iyaa..” Jawabnya malas. Duh, gak ada peluang nih, batin gua.

“Beli apaan, Teh..” Tanya gua lagi.
“Hah? Ituh, tau nih, bapaknya Ria. Minta makan mie..” Jawabnya setengah terkejut. Teh Lilis tampak murung dan melamun. Gua memandanginya dengan seksama. Baru ngeliatin dia aja, dada gua udah berdebar. Kaki gua gemeter. Dan, yap! Iblis berbisik, “tuh bos, dia nyebut Mas Muji “Bapaknya Ria” bos, bukan “Suamiku”. Itu artinya bisa digoyang imannya, bos! Lanjut, bos!”

“Beli apa mas?” Tanya Teh Lilis? Bukan! Tanya orang Madura. Membuyarkan lamunan gua menatap Teh Lilis.

“Oh. Rokok pak.. Lupa saya. Sama kopi juga deh..”
“Seduh sekalian kopinya?”
“Gak usah, pak. Eh, tapi kalo airnya baru mendidih, boleh deh..”

Tak disangka, Teh Lilis ikut bicara.

“Jam segini malah mau ngopi, mas. Gak tidur emangnya?”
“Hehe, iya Teh. Masih ada kerjaan..”
“Emang, Mas kerjanya dimana?” Tanyanya lagi. Sambil bayar gua ngomong, “Kenapa? Teteh mau ikut? Hehe.” dengan pandangan menggoda. Teh Lilis sesaat kaget, lalu tertawa.

“Duluan, Teh..” Kata gua, kemudian cabut dari warung. Teh Lilis masih menunggu belanjaannya. Dan tak lama, dia pun bergegas pulang.

Teh Lilis cuma berjarak 3 langkah dibelakang gua. Gua sengaja memperlambat jalan gua. Teh Lilis dilema, antara mau duluin gua atau ikutan jalan lambat. Dia milih opsi pertama, mungkin karena sudah ditungguin suaminya.

“Ayo, mas..” Katanya saat berada disebelah gua sesaat mendahului.

“Oh, iya Teh..” Balas gua, sok cuek dengan akting mainan gejet. Dalam hati bergejolak, “minta-ngga-minta-ngga..” Akhirnya gua memilih, Ngga! Haha, cupu banget gua. Minta nomornya aja takut! Yaiyalah, takut. Bini orang, sob!

Tapi iblis punya rencana lain. Saat berada didepan ruko/rumah Teh Lilis, dia kembali bersuara sebelum masuk. Seolah memberikan kode, kalo dia mau kok diajak selingkuh.~

“Awas, Mas, kesandung! Hehe” godanya, yang melihat gua jalan sambil menatap layar gejet. Gua sok cool, menengok kearahnya dan hanya tersenyum. Ingin rasanya ngomong, “Teh, minta nomor teleponnya, Teh..” Tapi itu namanya main kotor. Kemungkinan didenger Mas Muji besar, jadi gua urung melakukannya.

Sampai kamar, gua menyusun rencana dan tidur. Kopi yang gua beli dan udah diseduh, yang hanya menjadi kamuflase itu pun tak tersentuh. “Biarlah jadi rejeki semut..” Batin gua, lalu tidur.

***

Pagi-pagi sekali gua bersiap menjalankan aksi. Hemm, seperti apa aksi gua? Stay tune, gaes!

Ngentot Sama Istri Abang Tukang Bakso Part II

Pagi-pagi sekali gua sudah berada di area sekolahan tempat Ria sekolah.

Iblis benar-benar sudah menguasai diri gua. Entah dimana keberadaan malaikat.

Rencananya, gua akan mulai mendekatkan diri sama Teh Lilis saat dia menunggu Ria. Dan, melihat umur Teh Lilis yang gak tua-tua amat, dugaan gua dia pasti gak akan ikut nunggu Ria sambil ngerumpi sama ibu-ibu lain yang juga mengantar anaknya.

Tapi dugaan tinggal dugaan. Teh Lilis ikut membaur dengan ibu-ibu. Iblis memberi celah dengan tidak adanya ibu-ibu yang berada di sekitar Teh Lilis yang gua kenal. Jadi, besar kemungkinan juga gak ada yang mengenal gua. Tinggal kemudian gua mencari celah untuk “dilihat” Teh Lilis.

Mulai dari bersiul kearah Teh Lilis, sampai melambai-lambaikan tangan, dia tetap tak sadar keberadaan gua. Tiba-tiba saja ide muncul saat melihat bocah sd keluar dari salah satu kelas (bukan kelasnya Ria), gua langsung mengiming-imingin jajanan dan mengantarnya kembali ke kelas seolah-olah gua adalah sodaranya.

Teh Lilis sedikit kaget melihat keberadaan gua. Gua mengangguk dan tersenyum kearahnya. Setelah si bocah masuk kelas, gua menghampiri Teh Lilis.

“Nganter? Siapa?” Katanya, membuka pembicaraan.
“Oh, iya. Keponakan Teh..”
“Oohh..” Responnya sambil beranjak dari tempat duduk hendak membeli jajanan.

Gua sih yakin kalo dia cuma ngasih peluang ke gua, semacem kode minta ditelanjangin. Atau minimal ini settingan iblis.

“Nungguin sampe pulang, Teh?” Tanya gua. Dia gak gak menjawab, hanya mengangguk. Raut wajahnya tampak risih. Seketika gua bagai tersambar petir. “Anjir, gua cuma kegeeran nih..” Batin gua.

“Teh..” Sapa gua lagi. Pantang menyerah.
“Iya..” Jawabnya, masih dengan raut wajah risih dan cenderung was-was. Gua langsung menyodorkan hp dan minta nomor teleponnya. Dang! Hp gua gak direspon.

Tapi dia malah bilang, “Nomor Mas aja berapa?” sambil mengeluarkan hpnya dan gua pun pamit duluan setelah memberikan nomor hp.

Gua sih ga yakin dia bakal ngontek gua, tapi atas dasar positive thinking untuk kelakuan negative, gua menunggu kontak Teh Lilis. Tak sampai satu jam, ada pesan masuk ke hp gua.

“Ada apa ya, Mas? Maaf, saya risih ngobrol ditempat umum. Takut dikira macem-macem. Lilis.”

Hhhuuaaa.. Teh Lilis. Macam orang dulu aja ngirim Short Messages Service. Hehe

“Hehe, kalo gitu saya Teh yang minta maaf. Ga ada apa-apa Teh, mau kenal aja. Mau ngobrol-ngobrol. Kalo smsan gini masih risih ga, Teh? Hehe”

“Ya kalo sms gini ga risih. Kan gak ada yang liat. Mau kenal? Kan udah kenal. Ngobrol kok sama ibu-ibu sih Mas, sama yang masih gadis aja atuh.”

“Duh, Teh. Kalo sama gadis mah ribet Teh, ambekan. Dikit2 ngambek. Hehe. Teh Lilis tiap hari nungguin Ria?”

“Yah Mas, ibu-ibu juga sering ngambek kok. Namanya juga perempuan. Heee. Iya, tiap hari nungguin. Mas tadi anter anaknya ponakan? Kok baru liat.”

“Hehe, ngga Teh. Sebenernya cuma alesan buat ketemu Teteh aja ”

“Hmm. Mas, tolong jangan nelepon saya yah klo saya lagi dirumah. Takut bapaknya Ria tau nanti malah nyangka macet-macet.”

Pesan terakhir Teh Lilis gak gua bales, tapi gua berinisiatif langsung meneleponnya. Teh Lilis terasa begitu segan dan risih saat menerima telepon gua. Tapi meski begitu, dia juga tak memadamkan percikan untuk digoda. Gua sebagai lelaki normal yang abnormal tentu saja tak melewatkan peluang begitu saja.

Gua mencoba membuatnya nyaman berbicara sama gua. Pelan-pelan Teh Lilis mulai ‘biasa’ dan enjoy dalam berbicara. Sesekali dia bercerita juga bertanya. Nah, kedua hal tersebut adalah koentji sebuah pedekate berhasil atau tidak.

Akhirnya Teh Lilis menyudahi obrolan via telepon itu karena jam pulang Ria sudah tiba. Gua longok jam tangan, ‘pukul 09:50 WIB’.

Diakhir obrolan gua sempet ngomong, “Kalo lagi suntuk sms saya aja, Teh. Siapa tau malah tambah suntuk..” seraya tertawa. Teh Lilis juga tertawa lepas saat menutup teleponnya.

***

Gua pulang kerumah waktu banci pun belum dandan. Pikiran gua dipenuhi strategi-strategi menelanjangi Teh Lilis.

Dan sepertinya, Teh Lilis ini memang minta ditelanjangi. Dia sms gua gak lama setelah gua sampai rumah.

“Tumben Mas jam segini udah pulang? Gak jalan-jalan dulu sama pacarnya? Lagi marahan ya.. Hehehe”

Gua sempat kaget mendapati sms Teh Lilis, karena pas gua liat sebelum masuk rumah, Teh Lilis lagi momong Ria di dekat Mas Muji. Mas Muji sendiri sedang melayani pembeli yang gak banyak-banyak amat dan gak sedikit juga.

“Hehe, bisa aja Teteh. Lagi nonton tv apa masih di depan Teh? Tadi saya lihat kan Teteh di depan.”

“Iya, lagi nonton tv. Udah ga di depan, banyak pembeli. Lagi sekalian nidurin Ria.”

“Nidurin Ria? Mau juga dong Teh, ditidurin. Ahahaha. Becanda, Teh. Loh, banyak pembeli kok gak bantuin Mas Muji?”

“Hmm. Untung cuma becanda. Bantuin kok, tapi sambil nonton tv. Heee.”

“Owgitu..”

Biajingan, gua keabisan ide sampe cuma begitu doang bales smsnya. ‘Owgitu..’ Sms macam apa itu? Macem lagi wasapan atau bbman aja. Padahal di sms tersedia 140 karakter. Eh, bener apa ngga ya? Bodo, ah. Haha.

Tapi ditengah keputusasaan balesan sms gua, Teh Lilis memainkan perannya.

“Besok nganter lagi Mas?”

“Nganter, bareng aja Teh.”

“Gak ah. Ngerepotin.”

“Yah, Teh. Timbang gitu aja ngerepotin.”

“Heeeehe. Boleh deh kalo gak ngerepotin.”

“Eh, sebenernya emang ngerepotin sih Teh. Kecuali kalo abis nganter trus Teteh nungguin Ria-nya diluar sama saya, baru gak ngerepotin.”

“Hmm. Keluar kemana Mas?”

“Gak usah jauh-jauh Teh. Biar jam setengah sepuluh udah sampe sekolahan lagi. Kemana aja, yang penting bisa ngobrol-ngobrol.”

“Gak ah. Takut ada yang liat Mas.”

“Ya kalo gitu, kita pergi ketempat yang gak ada orang liat. Hehe.”

“Mas bisa aja. Udahan dulu ya, Mas. Jangan sms lagi.”

Huhu. Yes!

07:00 WIB

Besoknya, seperti yang sudah dismskan semalem, gua nganter Ria dan Teh Lilis dengan bergaya seolah-olah gak janjian.

Teh Lilis sempat bertanya, “Keponakannya mana Mas?” waktu perjalanan ke sekolah. Tapi gak gua jawab, karena pun dia nanya dengan raut wajah menggoda. Jiguri.

Setelah sampai sekolahan, Teh Lilis mengantar Ria ke kelas. Gua kemudian meneleponnya, memberitau kalo gua nunggu diseberang jalan utama sekolahan. Teh Lilis hanya membalas dengan suara, “Hmm.. He’em.. Iya. Iya. He’em..”

07:30 WIB

Tak sampai 20 menit, Teh Lilis sudah masuk ke dalam mobil yang gua parkir di minimarket. Gua sedang berada di dalam membeli ‘perlengkapan perang’.

Mobil sengaja menyala dan gak gua kunci, Teh Lilis menjalankan semua perintah gua. Nice.

“Kemana Mas?” Tanya Teh Lilis waktu gua baru masuk mobil.

“Kemana ya?” Kata gua sambil memandanginya dari atas sampai bawah, tanpa ada gangguan sedikitpun. Muka Teh Lilis seketika memerah. Kemudian memalingkan pandangannya.

Teh Lilis hanya memakai celana piama. Celana tidur dipadu dengan daster sedengkul dan jaket. Badannya yang bahenol terlihat dari balik pakaian yang berbahan lemas itu. Meski jaket blazernya coba menutupi.

Gua mulai nakal dengan menyentuh bagian rusuknya. Teh Lilis reflek bergoyang. Sekali, dua kali, sampai akhirnya Teh Lilis menghadap gua, lalu meraup wajah gua. Seperti sedang menampar, tapi tanpa tenaga.

“Bajingan, berani nyentuh gua nih ibu-ibu..” Batin gua. Gua pun langsung memanfaatkan dengan memegang tangannya. Teh Lilis membeku. Gua berdebar tak karuan.

“Yang penting, cabut dulu aja Teh dari sini..” Kata gua kemudian sambil keluar parkiran dan gas pol entah kemana.

Dijalan, gua menimang-nimang tempat tujuan. Teh Lilis gak banyak bicara, cenderung sedikit grogi. Raut wajahnya juga tampak khawatir. Entah khawatir gua apa-apain atau khawatir perbuatan nekatnya ini ketahuan Mas Muji.

07:50 WIB

Di depan gerbang hotel, gua berhenti dan memandang Teh Lilis. Satu, dua, tiga detik, Teh Lilis tak kunjung memandang balik. Gua menggoyangkan jari di lingkaran stir.

Teh Lilis memandang balik. Raut wajahnya bukan sekedar bertanya “Ngapain berhenti didepan hotel?” tapi juga, “..Kalo mau masuk, ya masuk.”

Gua tersenyum lebar. Teh Lilis menghembuskan nafas panjang. Iblis berdendang dijok belakang. Malaikat terbelenggu didalem bagasi.

***

08:00 WIB

“Mas ngapain kita kesini?” Tanya Teh Lilis saat sudah duduk dibibir kasur hotel.

“Ngapain ya Teh enaknya? Hehe. Ngobrol aja Teh..” Jawab gua sambil merebahkan badan dikasur. Teh Lilis membelakangi gua.

“Kan, kalo ngobrol disini gak bakal ada yang liat Teh..”

Teh Lilis sesekali menengok kebelakang, melihat posisi pewe gua. “Sini, Teh, nontonnya sambil rebahan. Kaya waktu saya pertama ngeliat Teteh, kan lagi nonton tv sambil tiduran gini..” Goda gua.

Teh Lilis kembali menengok dan tertawa malu. “Saya duduk, sih waktu itu. Gak tiduran. Dibilangin bapaknya Ria, mau ada yang numpang kamar mandi.”

Didalam kamar, hampir selama setengah jam, hanya gua habiskan dengan ngobrol gak jelas. Sama-sama malu. Sama-sama grogi. Tapi lambat laun, Teh Lilis mulai santai dan berkeliling kamar hotel.

Duduk dimeja rias. Ke kamar mandi. Buka-buka kulkas dan baca majalah. Sesekali mendekat ke arah gua untuk bertanya sesuatu yang ada dikamar hotel. Gua pun justru larut dengan menyia-nyiakan waktu yang ada sambil glesoran dikasur.

Madep kanan, madep kiri, tungkerep, telentang. Glesoran gak karuan.

Sampai akhirnya gua bertanya sesuatu, “Eh, Teh. Kok umurnya bisa beda jauh sih sama Mas Muji?”

Teh Lilis yang sedang duduk didepan meja rias sambil baca majalah kemudian berdiri. Mukanya seketika kesal. “Saya mau balik ke sekolahan, Mas..” Katanya.

Doh, ngambek!

Teh Lilis lalu berjalan menuju pintu, gua langsung beranjak dari kasur dan menahannya.

Kemudian gua minta maaf kalo ada sesuatu yang menyinggung. Teh Lilis tak bergeming. Gua sedikit menarik tangannya. Yang terjadi kemudian sungguh diluar perkiraan.

Gua hanya menarik tangannya pelan untuk mendapat perhatiannya yang sebelumnya enggan memandang gua. Tapi reaksi Teh Lilis seperti baru saja di uppercut Muhammad Ali.

Dia merobohkan badannya yang secara otomatis menimpa badan gua yang lalu terjatuh dikasur.

Sesaat kami saling pandang. Kedua tangan Teh Lilis berada didada gua, sedikit menopang tubuhnya.

Gua lalu melingkarkan tangan gua dibadannya. Teh Lilis tak bereaksi. Masih memandangi gua. Gua salah tingkah. Muka Teh Lilis sedikit berubah menjadi sangat serius. Sesekali dia memejam.

Kemudian gua meraih kedua tangannya. Badan Teh Lilis sepenuhnya menindih badan gua. Payudaranya yang montok mendarat tepat didada gua. Muka Teh Lilis makin berubah saat gua menggoyangkan badannya. Bibirnya bergerak-gerak seperti ingin melumat atau berkata sesuatu.

Gua melepaskan jaket blazzernya. Ariel sudah tegangan tinggi. Kaki Teh Lilis lurus diatas gua.

Gua lalu meremas bokongnya agar kakinya terbuka. Dan, yap, Teh Lilis mengangkang diatas gua dengan wajah horny.

Ariel yang sudah tegangan tinggi terasa bersentuh dengan bagian vagina Teh Lilis. Gua menggoyangkan pinggul naik-turun sambil meremas bokongnya. Sebentar saja, Teh Lilis sudah mengikuti irama goyangan.

“Sssstttt..” Desisnya sambil memejamkan mata. Giginya seperti sedang menggigit sesuatu. Gua makin kencang meremas bokongnya.

Tiap gua remas dan bergoyang, Teh Lilis berdesis sambil mengatur nafas. “Sssssttt..”

Tangan gua masuk ke dalam celana piamanya. Mudah saja buat gua karena hanya berbahan kolor. Setelah didalam celana, tangan gua gak meremas bokongnya, tapi langsung menyentuh vaginanya dari atas.

Teh Lilis langsung mencengkram wajah dan melumat bibir gua. “Eemmm…” Desah gua.

Sambil berciuman, saling melahap satu sama lain, gua menarik-narik kancut Teh Lilis. Teh Lilis bergeliat sambil menggoyangkan sendiri pinggulnya. “Sssssttt…hhuuu..” Desahnya kali ini.

Gua lalu mulai meremas payudaranya. Teh Lilis memberi ruang dengan sedikit mengangkat tubuhnya yang berada diatas gua. Sebentar saja, gua langsung membuka tali branya dan mengangkat daster serta branya.

Payudara montok Teh Lilis menggantung diatas wajah gua. Dia menahan tubuhnya dengan kedua tangan dikasur. Setelah menikmati aroma tubuhnya, gua mulai mengulum puting payudara Teh Lilis.

Dari payudara yang satu, ke yang lain. Secara adil gua kulum dan remas payudaranya. Teh Lilis menggoyangkan badannya saat gua sedang melahap salah satu payudaranya.

08:40 WIB

Sambil menjilati putingnya, gua kembali meremas bokongnya.

Teh Lilis makin menikmati kebejatannya. Dia membuka celananya pake satu tangan dengan gerakan yang dinamis, tanpa mengganggu gua yang sedang melahap payudaranya. “Ssssttt.. Aahh..” Desahnya.

Gua lalu membalikkan badan. Teh Lilis telentang sambil bergeliat saat gua melepas celana. “Dasternya, buka Teh..” Kata gua saat hendak menjilati vaginanya yang masih tertutup. Teh Lilis membuka dasternya dan tapi kemudian menarik wajah gua dan memberikan ciuman dahsyat. Dia mencium sambil menyedot.

Gua memasukkan tangan ke dalam kancutnya dan menyentuh vaginanya. Teh Lilis makin melumat bibir gua. Lalu gua memaikan jari dimulut vaginanya. Basah!

Vagina Teh Lilis sudah basah saat gua melepaskan kancutnya, dan saat hendak menjilati, lagi-lagi dia menarik kepala gua. Gua pun akhirnya hanya mengocok vaginanya dengan jari sambil menjilati payudaranya. “Aaaahhhh.. Sssttt.. Aaaauuggghh..” Desahnya.

Kemudian gua memasukkan satu lagi jari ke dalam vaginanya. Teh Lilis mengerang sambil mencengkaram leher gua. Gua melepaskan cengkramannya sambil mempercepat gerakan jari mengocok vaginanya.

Untuk mendapatkan hasil maksimal, gua menegakkan dudukan badan. Yang tadinya sedikit membungkuk mengulum payudara, menjadi duduk tegap disamping badan Teh Lilis yang bergeliat keenakan.

Pemandangan dari sini adalah yang terbaik saat sesi porplei, bro.. Haha. You, know lha.

Teh Lilis tak dapat menyembunyikan raut wajah malu bercampur nafsu saat gua sengaja mengocok vagina sambil memperhatikannya. “Enak, Teh..” Kata gua.

Entah pertanyaan bodoh macam apa itu. Sialnya, itu pertanyaan yang sering diajukan lelaki saat sedang memberikan nikmat ke wanita yang sesang dieksekusi.

Teh Lilis menutupi wajahnya dengan bantal saat tak kuasa mendesah. Dia mendesah dibalik bantal. Gua langsung menyingkirkan bantal. Wajah Teh Lilis tampak sudah tak perduli. Dia benar-benar menikmati gerakan jari-jari gua.

“Aaahhh, aaakkhhh, hhhaaaahhh..” Desahnya sambil meremas salah satu payudaranya. Payudara yang lain, gua bantu meremas.

Sesaat gua bertanya-tanya. “Ini orang udah punya anak kok pentilnya masih bagus?” Sambil memilin dan meremas buah dadanya.Pagi-pagi sekali gua sudah berada di area sekolahan tempat Ria sekolah.

Iblis benar-benar sudah menguasai diri gua. Entah dimana keberadaan malaikat.

Rencananya, gua akan mulai mendekatkan diri sama Teh Lilis saat dia menunggu Ria. Dan, melihat umur Teh Lilis yang gak tua-tua amat, dugaan gua dia pasti gak akan ikut nunggu Ria sambil ngerumpi sama ibu-ibu lain yang juga mengantar anaknya.

Tapi dugaan tinggal dugaan. Teh Lilis ikut membaur dengan ibu-ibu. Iblis memberi celah dengan tidak adanya ibu-ibu yang berada di sekitar Teh Lilis yang gua kenal. Jadi, besar kemungkinan juga gak ada yang mengenal gua. Tinggal kemudian gua mencari celah untuk “dilihat” Teh Lilis.

Mulai dari bersiul kearah Teh Lilis, sampai melambai-lambaikan tangan, dia tetap tak sadar keberadaan gua. Tiba-tiba saja ide muncul saat melihat bocah sd keluar dari salah satu kelas (bukan kelasnya Ria), gua langsung mengiming-imingin jajanan dan mengantarnya kembali ke kelas seolah-olah gua adalah sodaranya.

Teh Lilis sedikit kaget melihat keberadaan gua. Gua mengangguk dan tersenyum kearahnya. Setelah si bocah masuk kelas, gua menghampiri Teh Lilis.

“Nganter? Siapa?” Katanya, membuka pembicaraan.
“Oh, iya. Keponakan Teh..”
“Oohh..” Responnya sambil beranjak dari tempat duduk hendak membeli jajanan.

Gua sih yakin kalo dia cuma ngasih peluang ke gua, semacem kode minta ditelanjangin. Atau minimal ini settingan iblis.

“Nungguin sampe pulang, Teh?” Tanya gua. Dia gak gak menjawab, hanya mengangguk. Raut wajahnya tampak risih. Seketika gua bagai tersambar petir. “Anjir, gua cuma kegeeran nih..” Batin gua.

“Teh..” Sapa gua lagi. Pantang menyerah.
“Iya..” Jawabnya, masih dengan raut wajah risih dan cenderung was-was. Gua langsung menyodorkan hp dan minta nomor teleponnya. Dang! Hp gua gak direspon.

Tapi dia malah bilang, “Nomor Mas aja berapa?” sambil mengeluarkan hpnya dan gua pun pamit duluan setelah memberikan nomor hp.

Gua sih ga yakin dia bakal ngontek gua, tapi atas dasar positive thinking untuk kelakuan negative, gua menunggu kontak Teh Lilis. Tak sampai satu jam, ada pesan masuk ke hp gua.

“Ada apa ya, Mas? Maaf, saya risih ngobrol ditempat umum. Takut dikira macem-macem. Lilis.”

Hhhuuaaa.. Teh Lilis. Macam orang dulu aja ngirim Short Messages Service. Hehe

“Hehe, kalo gitu saya Teh yang minta maaf. Ga ada apa-apa Teh, mau kenal aja. Mau ngobrol-ngobrol. Kalo smsan gini masih risih ga, Teh? Hehe”

“Ya kalo sms gini ga risih. Kan gak ada yang liat. Mau kenal? Kan udah kenal. Ngobrol kok sama ibu-ibu sih Mas, sama yang masih gadis aja atuh.”

“Duh, Teh. Kalo sama gadis mah ribet Teh, ambekan. Dikit2 ngambek. Hehe. Teh Lilis tiap hari nungguin Ria?”

“Yah Mas, ibu-ibu juga sering ngambek kok. Namanya juga perempuan. Heee. Iya, tiap hari nungguin. Mas tadi anter anaknya ponakan? Kok baru liat.”

“Hehe, ngga Teh. Sebenernya cuma alesan buat ketemu Teteh aja ”

“Hmm. Mas, tolong jangan nelepon saya yah klo saya lagi dirumah. Takut bapaknya Ria tau nanti malah nyangka macet-macet.”

Pesan terakhir Teh Lilis gak gua bales, tapi gua berinisiatif langsung meneleponnya. Teh Lilis terasa begitu segan dan risih saat menerima telepon gua. Tapi meski begitu, dia juga tak memadamkan percikan untuk digoda. Gua sebagai lelaki normal yang abnormal tentu saja tak melewatkan peluang begitu saja.

Gua mencoba membuatnya nyaman berbicara sama gua. Pelan-pelan Teh Lilis mulai ‘biasa’ dan enjoy dalam berbicara. Sesekali dia bercerita juga bertanya. Nah, kedua hal tersebut adalah koentji sebuah pedekate berhasil atau tidak.

Akhirnya Teh Lilis menyudahi obrolan via telepon itu karena jam pulang Ria sudah tiba. Gua longok jam tangan, ‘pukul 09:50 WIB’.

Diakhir obrolan gua sempet ngomong, “Kalo lagi suntuk sms saya aja, Teh. Siapa tau malah tambah suntuk..” seraya tertawa. Teh Lilis juga tertawa lepas saat menutup teleponnya.

***

Gua pulang kerumah waktu banci pun belum dandan. Pikiran gua dipenuhi strategi-strategi menelanjangi Teh Lilis.

Dan sepertinya, Teh Lilis ini memang minta ditelanjangi. Dia sms gua gak lama setelah gua sampai rumah.

“Tumben Mas jam segini udah pulang? Gak jalan-jalan dulu sama pacarnya? Lagi marahan ya.. Hehehe”

Gua sempat kaget mendapati sms Teh Lilis, karena pas gua liat sebelum masuk rumah, Teh Lilis lagi momong Ria di dekat Mas Muji. Mas Muji sendiri sedang melayani pembeli yang gak banyak-banyak amat dan gak sedikit juga.

“Hehe, bisa aja Teteh. Lagi nonton tv apa masih di depan Teh? Tadi saya lihat kan Teteh di depan.”

“Iya, lagi nonton tv. Udah ga di depan, banyak pembeli. Lagi sekalian nidurin Ria.”

“Nidurin Ria? Mau juga dong Teh, ditidurin. Ahahaha. Becanda, Teh. Loh, banyak pembeli kok gak bantuin Mas Muji?”

“Hmm. Untung cuma becanda. Bantuin kok, tapi sambil nonton tv. Heee.”

“Owgitu..”

Biajingan, gua keabisan ide sampe cuma begitu doang bales smsnya. ‘Owgitu..’ Sms macam apa itu? Macem lagi wasapan atau bbman aja. Padahal di sms tersedia 140 karakter. Eh, bener apa ngga ya? Bodo, ah. Haha.

Tapi ditengah keputusasaan balesan sms gua, Teh Lilis memainkan perannya.

“Besok nganter lagi Mas?”

“Nganter, bareng aja Teh.”

“Gak ah. Ngerepotin.”

“Yah, Teh. Timbang gitu aja ngerepotin.”

“Heeeehe. Boleh deh kalo gak ngerepotin.”

“Eh, sebenernya emang ngerepotin sih Teh. Kecuali kalo abis nganter trus Teteh nungguin Ria-nya diluar sama saya, baru gak ngerepotin.”

“Hmm. Keluar kemana Mas?”

“Gak usah jauh-jauh Teh. Biar jam setengah sepuluh udah sampe sekolahan lagi. Kemana aja, yang penting bisa ngobrol-ngobrol.”

“Gak ah. Takut ada yang liat Mas.”

“Ya kalo gitu, kita pergi ketempat yang gak ada orang liat. Hehe.”

“Mas bisa aja. Udahan dulu ya, Mas. Jangan sms lagi.”

Huhu. Yes!

07:00 WIB

Besoknya, seperti yang sudah dismskan semalem, gua nganter Ria dan Teh Lilis dengan bergaya seolah-olah gak janjian.

Teh Lilis sempat bertanya, “Keponakannya mana Mas?” waktu perjalanan ke sekolah. Tapi gak gua jawab, karena pun dia nanya dengan raut wajah menggoda. Jiguri.

Setelah sampai sekolahan, Teh Lilis mengantar Ria ke kelas. Gua kemudian meneleponnya, memberitau kalo gua nunggu diseberang jalan utama sekolahan. Teh Lilis hanya membalas dengan suara, “Hmm.. He’em.. Iya. Iya. He’em..”

07:30 WIB

Tak sampai 20 menit, Teh Lilis sudah masuk ke dalam mobil yang gua parkir di minimarket. Gua sedang berada di dalam membeli ‘perlengkapan perang’.

Mobil sengaja menyala dan gak gua kunci, Teh Lilis menjalankan semua perintah gua. Nice.

“Kemana Mas?” Tanya Teh Lilis waktu gua baru masuk mobil.

“Kemana ya?” Kata gua sambil memandanginya dari atas sampai bawah, tanpa ada gangguan sedikitpun. Muka Teh Lilis seketika memerah. Kemudian memalingkan pandangannya.

Teh Lilis hanya memakai celana piama. Celana tidur dipadu dengan daster sedengkul dan jaket. Badannya yang bahenol terlihat dari balik pakaian yang berbahan lemas itu. Meski jaket blazernya coba menutupi.

Gua mulai nakal dengan menyentuh bagian rusuknya. Teh Lilis reflek bergoyang. Sekali, dua kali, sampai akhirnya Teh Lilis menghadap gua, lalu meraup wajah gua. Seperti sedang menampar, tapi tanpa tenaga.

“Bajingan, berani nyentuh gua nih ibu-ibu..” Batin gua. Gua pun langsung memanfaatkan dengan memegang tangannya. Teh Lilis membeku. Gua berdebar tak karuan.

“Yang penting, cabut dulu aja Teh dari sini..” Kata gua kemudian sambil keluar parkiran dan gas pol entah kemana.

Dijalan, gua menimang-nimang tempat tujuan. Teh Lilis gak banyak bicara, cenderung sedikit grogi. Raut wajahnya juga tampak khawatir. Entah khawatir gua apa-apain atau khawatir perbuatan nekatnya ini ketahuan Mas Muji.

07:50 WIB

Di depan gerbang hotel, gua berhenti dan memandang Teh Lilis. Satu, dua, tiga detik, Teh Lilis tak kunjung memandang balik. Gua menggoyangkan jari di lingkaran stir.

Teh Lilis memandang balik. Raut wajahnya bukan sekedar bertanya “Ngapain berhenti didepan hotel?” tapi juga, “..Kalo mau masuk, ya masuk.”

Gua tersenyum lebar. Teh Lilis menghembuskan nafas panjang. Iblis berdendang dijok belakang. Malaikat terbelenggu didalem bagasi.

***

08:00 WIB

“Mas ngapain kita kesini?” Tanya Teh Lilis saat sudah duduk dibibir kasur hotel.

“Ngapain ya Teh enaknya? Hehe. Ngobrol aja Teh..” Jawab gua sambil merebahkan badan dikasur. Teh Lilis membelakangi gua.

“Kan, kalo ngobrol disini gak bakal ada yang liat Teh..”

Teh Lilis sesekali menengok kebelakang, melihat posisi pewe gua. “Sini, Teh, nontonnya sambil rebahan. Kaya waktu saya pertama ngeliat Teteh, kan lagi nonton tv sambil tiduran gini..” Goda gua.

Teh Lilis kembali menengok dan tertawa malu. “Saya duduk, sih waktu itu. Gak tiduran. Dibilangin bapaknya Ria, mau ada yang numpang kamar mandi.”

Didalam kamar, hampir selama setengah jam, hanya gua habiskan dengan ngobrol gak jelas. Sama-sama malu. Sama-sama grogi. Tapi lambat laun, Teh Lilis mulai santai dan berkeliling kamar hotel.

Duduk dimeja rias. Ke kamar mandi. Buka-buka kulkas dan baca majalah. Sesekali mendekat ke arah gua untuk bertanya sesuatu yang ada dikamar hotel. Gua pun justru larut dengan menyia-nyiakan waktu yang ada sambil glesoran dikasur.

Madep kanan, madep kiri, tungkerep, telentang. Glesoran gak karuan.

Sampai akhirnya gua bertanya sesuatu, “Eh, Teh. Kok umurnya bisa beda jauh sih sama Mas Muji?”

Teh Lilis yang sedang duduk didepan meja rias sambil baca majalah kemudian berdiri. Mukanya seketika kesal. “Saya mau balik ke sekolahan, Mas..” Katanya.

Doh, ngambek!

Teh Lilis lalu berjalan menuju pintu, gua langsung beranjak dari kasur dan menahannya.

Kemudian gua minta maaf kalo ada sesuatu yang menyinggung. Teh Lilis tak bergeming. Gua sedikit menarik tangannya. Yang terjadi kemudian sungguh diluar perkiraan.

Gua hanya menarik tangannya pelan untuk mendapat perhatiannya yang sebelumnya enggan memandang gua. Tapi reaksi Teh Lilis seperti baru saja di uppercut Muhammad Ali.

Dia merobohkan badannya yang secara otomatis menimpa badan gua yang lalu terjatuh dikasur.

Sesaat kami saling pandang. Kedua tangan Teh Lilis berada didada gua, sedikit menopang tubuhnya.

Gua lalu melingkarkan tangan gua dibadannya. Teh Lilis tak bereaksi. Masih memandangi gua. Gua salah tingkah. Muka Teh Lilis sedikit berubah menjadi sangat serius. Sesekali dia memejam.

Kemudian gua meraih kedua tangannya. Badan Teh Lilis sepenuhnya menindih badan gua. Payudaranya yang montok mendarat tepat didada gua. Muka Teh Lilis makin berubah saat gua menggoyangkan badannya. Bibirnya bergerak-gerak seperti ingin melumat atau berkata sesuatu.

Gua melepaskan jaket blazzernya. Ariel sudah tegangan tinggi. Kaki Teh Lilis lurus diatas gua.

Gua lalu meremas bokongnya agar kakinya terbuka. Dan, yap, Teh Lilis mengangkang diatas gua dengan wajah horny.

Ariel yang sudah tegangan tinggi terasa bersentuh dengan bagian vagina Teh Lilis. Gua menggoyangkan pinggul naik-turun sambil meremas bokongnya. Sebentar saja, Teh Lilis sudah mengikuti irama goyangan.

“Sssstttt..” Desisnya sambil memejamkan mata. Giginya seperti sedang menggigit sesuatu. Gua makin kencang meremas bokongnya.

Tiap gua remas dan bergoyang, Teh Lilis berdesis sambil mengatur nafas. “Sssssttt..”

Tangan gua masuk ke dalam celana piamanya. Mudah saja buat gua karena hanya berbahan kolor. Setelah didalam celana, tangan gua gak meremas bokongnya, tapi langsung menyentuh vaginanya dari atas.

Teh Lilis langsung mencengkram wajah dan melumat bibir gua. “Eemmm…” Desah gua.

Sambil berciuman, saling melahap satu sama lain, gua menarik-narik kancut Teh Lilis. Teh Lilis bergeliat sambil menggoyangkan sendiri pinggulnya. “Sssssttt…hhuuu..” Desahnya kali ini.

Gua lalu mulai meremas payudaranya. Teh Lilis memberi ruang dengan sedikit mengangkat tubuhnya yang berada diatas gua. Sebentar saja, gua langsung membuka tali branya dan mengangkat daster serta branya.

Payudara montok Teh Lilis menggantung diatas wajah gua. Dia menahan tubuhnya dengan kedua tangan dikasur. Setelah menikmati aroma tubuhnya, gua mulai mengulum puting payudara Teh Lilis.

Dari payudara yang satu, ke yang lain. Secara adil gua kulum dan remas payudaranya. Teh Lilis menggoyangkan badannya saat gua sedang melahap salah satu payudaranya.

08:40 WIB

Sambil menjilati putingnya, gua kembali meremas bokongnya.

Teh Lilis makin menikmati kebejatannya. Dia membuka celananya pake satu tangan dengan gerakan yang dinamis, tanpa mengganggu gua yang sedang melahap payudaranya. “Ssssttt.. Aahh..” Desahnya.

Gua lalu membalikkan badan. Teh Lilis telentang sambil bergeliat saat gua melepas celana. “Dasternya, buka Teh..” Kata gua saat hendak menjilati vaginanya yang masih tertutup. Teh Lilis membuka dasternya dan tapi kemudian menarik wajah gua dan memberikan ciuman dahsyat. Dia mencium sambil menyedot.

Gua memasukkan tangan ke dalam kancutnya dan menyentuh vaginanya. Teh Lilis makin melumat bibir gua. Lalu gua memaikan jari dimulut vaginanya. Basah!

Vagina Teh Lilis sudah basah saat gua melepaskan kancutnya, dan saat hendak menjilati, lagi-lagi dia menarik kepala gua. Gua pun akhirnya hanya mengocok vaginanya dengan jari sambil menjilati payudaranya. “Aaaahhhh.. Sssttt.. Aaaauuggghh..” Desahnya.

Kemudian gua memasukkan satu lagi jari ke dalam vaginanya. Teh Lilis mengerang sambil mencengkaram leher gua. Gua melepaskan cengkramannya sambil mempercepat gerakan jari mengocok vaginanya.

Untuk mendapatkan hasil maksimal, gua menegakkan dudukan badan. Yang tadinya sedikit membungkuk mengulum payudara, menjadi duduk tegap disamping badan Teh Lilis yang bergeliat keenakan.

Pemandangan dari sini adalah yang terbaik saat sesi porplei, bro.. Haha. You, know lha.

Teh Lilis tak dapat menyembunyikan raut wajah malu bercampur nafsu saat gua sengaja mengocok vagina sambil memperhatikannya. “Enak, Teh..” Kata gua.

Entah pertanyaan bodoh macam apa itu. Sialnya, itu pertanyaan yang sering diajukan lelaki saat sedang memberikan nikmat ke wanita yang sesang dieksekusi.

Teh Lilis menutupi wajahnya dengan bantal saat tak kuasa mendesah. Dia mendesah dibalik bantal. Gua langsung menyingkirkan bantal. Wajah Teh Lilis tampak sudah tak perduli. Dia benar-benar menikmati gerakan jari-jari gua.

“Aaahhh, aaakkhhh, hhhaaaahhh..” Desahnya sambil meremas salah satu payudaranya. Payudara yang lain, gua bantu meremas.

Sesaat gua bertanya-tanya. “Ini orang udah punya anak kok pentilnya masih bagus?” Sambil memilin dan meremas buah dadanya.

Cerita Sex - Sesekali gua kembali melumat pentil dan payudaranya. “Aaaakkkhhh…” Desahnya, panjang. Kemudian gua makin cepat mengocok vaginanya. Teh Lilis coba merangkul leher gua, tapi tak bisa karena gua menghindar. Ia lalu mencengkram sprei kasur dengan kedua tangan yang berada diatas kepalanya. Melihat pemandangan seperti itu, gua makin semangat mengocok.

Akhirnya Teh Lilis memuncratkan cairan dari vaginanya. Badannya bergeliat tak karuan. Ia menahan gerakannya sambil mengatur nafas.

09:05 WIB

Teh Lilis terkujur lemas dengan badan sedikit miring. Kedua kakinya menutup vaginanya.

Gua lalu mengeluarkan Ariel dan mendekatkan ke wajahnya. Gua ‘memukul-mukul’ wajah Teh Lilis dengan pentungan hansip itu. Lalu mulai menggerayangi mulutnya. Teh Lilis urung membuka mulut, dia tampak sedang masih mengumpulkan tenaga.

Gua terus berusaha sambil kembali meremas payudaranya. Lalu membuka kakinya yang menutupi vagina. Teh Lilis kembali terlentang dengan posisi sedikit mengangkang. Gua memberikan sentuhan-sentuhan ringan ke sekujur badannya.

Kemudian setelah menjilati payudaranya, gua menciumi bagian pahanya. Posisi gua masih dengan Ariel yang berada di wajah Teh Lilis. Gua lalu merebahkan badan disamping dengan posisi terbalik. 69!

Dengan posisi menyamping, gua mulai melumat vagina Teh Lilis. Dia langsung meremas Ariel. Lalu gua mengangkat badannya menindih badan gua dalam posisi sempurna 69.

Gua menjilati vagina Teh Lilis yang terasa asin. Teh Lilis urung melahap Ariel sampai gua memasukkan satu jari kedalam vaginanya. “Oouugghh..” Desahnya, lalu melahap Ariel.

Ariel terasa hangat dan basah.

Bokong Teh Lilis bergerak-gerak diatas wajah gua. Vaginanya tepat berada dimulut gua. Sementara Ariel keluar masuk mulutnya.

Teh Lilis makin menikmati tugasnya. Sesekali dia menyedot Ariel dalam-dalam, lalu menjilati dan mengulum bola dragonbol. “Ahhh, enak teh..” Kata gua. Kali ini bukan pertanyaan, ini pernyataan.

Teh Lilis tiba-tiba menegakkan badannya.

Sambil mengocok Ariel, dia merangkak naik dan mengurung Ariel kedalam vaginanya. Jleb!

“Aahh, Fak!” Respon gua, tak menyangka dia langsung ke topik utama.

Teh Lilis membelakangi gua dengan kedua tangan memegang sandaran punggung kasur. Ariel terlihat timbul tenggelam dari bokong Teh Lilis yang gua liat dari belakang.

Gua memegang bokong Teh Lilis, membantunya bergerak naik-turun, maju-mundur. “Sssssstttt, mmaaasss… Aaahhhh” Desah desis Teh Lilis yang makin cepat menggenjot.

Lalu gua bangun dari tidur dan memeluk Teh Lilis dari belakang. Sambil meremas payudaranya, gua menciumi punggungnya.

Teh Lilis makin beringas, dia merangkul gua dengan posisi membelakangi. Nikmat sekali. Lalu Teh Lilis meminta berciuman, dengan senang hati gua melayaninya. Kedua tangan Teh Lilis yang setengah merangkul leher gua, membuat ketiaknya tampak menggairahkan. Sesekali gua memberikan kecupan ke ketiaknya.

Meski tidak harum, tapi juga tidak bau. Yang penting, tidak ada bulunya!

09:18 WIB

Badan Teh Lilis yang bahenol tak dapat gua tahan lebih lama berada diatas paha gua.

Gua lalu* memintanya berdiri, dan mengambil posisi doggy tanpa melepas Ariel yang betah didalam vagina Teh Lilis.

Teh Lilis berdiri dengan lututnya, masih dengan posisi membelakangi gua.

Gua sedikit membungkukkan punggungnya, sambil meremas payudara. Teh Lilis bergeliat saat lehernya gua kecup-kecup.

“Keluarin didalem, Teh?” Tanya gua saat bergerak lambat menikmati ciuman.

“Jangan dikeluarin dulu..” Bisiknya, manja.

Gua kemudian menghadapkan wajahnya kearah jam dinding sambil melumat bibirnya.

Dia yang paham maksud gua lalu mendorong bokong gua agar masuk lebih dalam. Gua lalu berakselerasi tingkat tinggi.

“Plak! Plak! Plak!” Suara yang keluar, diikuti desahan Teh Lilis, “Aaakkhhh, aaaaakkhh, Maasss.. Sssttt..”

Tak butuh lama dari serangan terakhir, Ariel memuntahkan ludah naga didalam vagina Teh Lilis.

“Oouugghhh…” Desah gua, panjang.

Teh Lilis langsung membenamkan wajahnya dikasur dengan posisi nungguing. Tampak sperma gua secara perlahan keluar dari dalam vagina Teh Lilis. “Sssstttt.. Hhhaaaahhh..” Desisnya.

Setelah sepertinya sperma sudah banyak yang keluar, Teh Lilis merobohkan badannya, tidur tungkerep.

Rabu, 27 November 2019

Model Jepang Bertubuh Cantik

Model Jepang Bertubuh Cantik






















Sabtu, 07 September 2019

Sensasi Selingkuh Nikmati Tiada Duanya



Cerita Sex - Sebagai pasangan suami istri muda yang baru setahun berumah tangga, kehidupan keluarga kami berjalan dengan tenang, apa adanya dan tanpa masalah. Saya, sebut saja Ratna (23), seorang sarjana ekonomi. Usai tamat kuliah, saya bekerja pada salah satu perusahaan jasa keuangan di Solo. Sebagai wanita, terus terang, saya juga tidak bisa dikatakan tidak menarik. Kulit tubuh saya putih bersih, tinggi 163 cm dan berat 49 kg.

Sementara ukuran bra 34B. Cukup bahenol, kata rekan pria di kantor. Sementara, suami saya juga ganteng. Rio namanya. Umurnya tiga tahun diatas saya atau 26 tahun. Bergelar insinyur, ia berkerja pada perusahaan jasa konstruksi. Rio orangnya pengertian dan sabar.

Karena samasama bekerja, otomatis pertemuan kami lebih banyak setelah sepulang atau sebelum berangkat kerja. Meski begitu, harihari kami lalui dengan baikbaik saja. Setiap akhir pekanbila tidak ada kerja di luar kotaseringkali kami habiskan dengan makan malam di salah satu resto ternama di kota ini. Dan tidak jarang pula, kami menghabiskannya pada sebuah villa di Tawangmangu.

Soal hubungan kami, terutama yang berkaitan dengan malammalam di ranjang juga tidak ada masalah yang berarti. Memang tidak setiap malam. Paling tidak dua kali sepekan, Rio menunaikan tugasnya sebagai suami. Hanya saja, karena suami saya itu sering pulang tengah malam, tentu saja ia tampak capek bila sudah berada di rumah. Bila sudah begitu, saya juga tidak mau terlalu rewel. Juga soal ranjang itu.

Bila Rio sudah berkata, Kita tidur ya, maka saya pun menganggukkan kepala meski saat itu mata saya masih belum mengantuk. Akibatnya, tergolek disamping tubuh suamiyang tidak terlalu kekar itudengan mata yang masih nyalang itu, saya seringentah mengapamenghayal.
Menghayalkan banyak hal. Tentang jabatan di kantor, tentang anak, tentang hari esok dan juga tentang ranjang.

Bila sudah sampai tentang ranjang itu, seringkali pula saya membayangkan saya bergumulan habishabisan di tempat tidur. Seperti cerita Ani atau Indah di kantor, yang setiap pagi selalu punya cerita menarik tentang apa yang mereka perbuat dengan suami mereka pada malamnya.
Tapi sesungguhnya itu hanyalah khayalan menjelang tidur yang menurut saya wajarwajar saja.

Dan saya juga tidak punya pikiran lebih dari itu. Dan mungkin pikiran seperti itu akan terus berjalan bila saja saya tidak bertemu dengan Karyo.
Pria itu seharihari bekerja sebagai polisi dengan pangkat Briptu. Usianya mungkin sudah 50 tahun. Gemuk, perut buncit dan hitam.
Begini ceritanya saya bertemu dengan pria itu. Suatu malam sepulang makan malam di salah satu resto favorit kami, entah mengapa, mobil yang disopiri suami saya menabrak sebuah sepeda motor. Untung tidak terlalu parah betul. Pria yang membawa sepeda motor itu hanya mengalami lecet di siku tangannya. Namun, pria itu marahmarah.

Anda tidak lihat jalan atau bagaimana. Masak menabrak motor saya. Mana suratsurat mobil Anda? Saya ini polisi! bentak pria berkulit hitam itu pada suami saya.

Mungkin karena merasa bersalah atau takut dengan gertakan pria yang mengaku sebagai polisi itu, suami saya segera menyerahkan surat kendaraan dan SIMnya. Kemudian dicapai kesepakatan, suami saya akan memperbaiki semua kerusakan motor itu esok harinya. Sementara motor itu dititipkan pada sebuah bengkel. Pria itu sepertinya masih marah. Ketika Rio menawari untuk mengantar ke rumahnya, ia menolak.
Tidak usah. Saya pakai becak saja, katanya.





Esoknya, Rio sengaja pulang kerja cepat. Setelah menjemput saya di kantor, kami pun pergi ke rumah pria gemuk itu. Rumah pria yang kemudian kami ketahui bernama Karyo itu, berada pada sebuah gang kecil yang tidak memungkinkan mobil Opel Blazer suami saya masuk.

Terpaksalah kami berjalan dan menitipkan mobil di pinggir jalan.
Rumah kontrakan Pak Karyo hanyalah rumah papan. Kecil. Di ruang tamu, kursinya sudah banyak terkelupas, sementara kertas dan koran berserakan di lantai yang tidak pakai karpet.

Ya beginilah rumah saya. Saya sendiri tinggal di sini. Jadi, tidak ada yang membersihkan, kata Karyo yang hanya pakai singlet dan kain sarung.
Setelah berbasa basi dan minta maaf, Rio mengatakan kalau sepeda motor Pak Karyo sudah diserahkan anak buahnya ke salah satu bengkel besar. Dan akan siap dalam dua atau tiga hari mendatang. Sepanjang Rio bercerita, Pak Karyo tampak cuek saja. Ia menaikkan satu kaki ke atas kursi. Sesekali ia menyeruput secangkir kopi yang ada di atas meja.
Oh begitu ya. Tidak masalah, katanya.

Saya tahu, beberapa kali ia melirikkan matanya ke saya yang duduk di sebelah kiri. Tapi saya purapura tidak tahu. Memandang Pak Karyo, saya bergidik juga. Badannya besar meski ia juga tidak terlalu tinggi. Lengan tangannya tampak kokoh berisi. Sementara dadanya yang hitam membusung. Dari balik kaosnya yang sudah kusam itu tampak dadanya yang berbulu. Jari tangannya seperti besi yang bengkokbengkok, kasar.
Karyo kemudian bercerita kalau ia sudah puluhan tahun bertugas dan tiga tahun lagi akan pensiun. Sudah hampir tujuh tahun bercerai dengan istrinya. Dua orang anaknya sudah berumah tangga, sedangkan yang bungsu sekolah di Bandung. Ia tidak bercerita mengapa pisah dengan istrinya.
Pertemuan kedua, di kantor polisi. Setelah beberapa hari sebelumnya saya habis ditodong saat berhenti di sebuah perempatan lampu merah, saya diminta datang ke kantor polisi. Saya kemudian diberi tahu anggota polisi kalau penodong saya itu sudah tertangkap, tetapi barangbarang berharga dan HP saya sudah tidak ada lagi. Sudah dijual si penodong.

Saat mau pulang, saya hampir bertabrakan dengan Pak Karyo di koridor kantor Polsek itu. Tibatiba saja ada orang di depan saya. Saya pun kaget dan berusaha mengelak. Karena buruburu saya menginjak pinggiran jalan beton dan terpeleset. Pria yang kemudian saya ketahui Pak Karyo itu segera menyambar lengan saya. Akibatnya, tubuh saya yang hampir jatuh, menjadi terpuruk dalam pagutan Pak Karyo.

Saya merasa berada dalam dekapan tubuh yang kuat dan besar. Dada saya terasa lengket dengan dadanya. Sesaat saya merasakan getaran itu. Tapi tak lama.

Makanya, jalannya itu hatihati. Bisabisa jatuh masuk got itu, katanya seraya melepaskan saya dari pelukannya. Saya hanya bisa tersenyum masam sambil bilang terimakasih.

Ketika Pak Karyo kemudian menawari minum di kantin, saya pun tidak punya alasan untuk menolaknya. Sambil minum ia banyak bercerita. Tentang motornya yang sudah baik, tentang istri yang minta cerai, tentang dirinya yang disebut orangorang suka menanggu istri orang. Saya hanya diam mendengarkan ceritanya.

Mungkin karena seringkali diam bila bertemu dan ia pun makin punya keberanian, Pak Karyo itu kemudian malah sering datang ke rumah.
Datang hanya untuk bercerita. Atau menanyai soal rumah kami yang tidak punya penjaga. Atau tentang hal lain yang semua itu, saya rasakan, hanya sekesar untuk bisa bertemu dengan berdekatan dengan saya. Tapi semua itu setahu suami saya lho. Bahkan, tidak jarang pula Rio terlibat permainan catur yang mengasyikkan dengan Pak Karyo bila ia datang pas ada Rio di rumah.

Ketika suatu kali, suami saya ke Jakarta karena ada urusan pekerjaan, Pak Karyo malah menawarkan diri untuk menjaga rumah. Rio, yang paling tidak selama sepakan di Jakarta, tentu saja gembira dengan tawaran itu. Dan saya pun merasa tidak punya alasan untuk menolak.

Meski sedikit kasar, tapi Pak Karyo itu suka sekali bercerita dan juga nanyananya. Dan karena kemudian sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri, saya pun tidak pula sungkan untuk berceritanya dengannya. Apalagi, keluarga saya tidak ada yang berada di Solo. Sekali waktu, saya keceplosan. Saya ceritakan soal desakan ibu mertua agar saya segera punya anak. Dan ini mendapat perhatian besar Pak Karyo. Ia antusias sekali. Matanya tampak berkilau.

Oh ya. Ah, kalau yang itu mungkin saya bisa bantu, katanya. Ia makin mendekat.

Bagaimana caranya? tanya saya bingung.
Mudahmudahan saya bisa bantu. Datanglah ke rumah. Saya beri obat dan sedikit diurut, kata Pak Karyo pula.

Dengan pikiran lurus, setelah sebelumnya saya memberitahu Rio, saya pun pergi ke rumah Pak Karyo. Sore hari saya datang. Saat saya datang, ia juga masih pakai kain sarung dan singlet. Saya lihat matanya berkilat. Pak Karyo kemudian mengatakan bahwa pengobatan yang didapatkannya melalui kakeknya, dilakukan dengan pemijatan di bagian perut. Paling tidak tujuh kali pemijatan, katanya.

Setelah itu baru diberi obat. Saya hanya diam.
Sekarang saja kita mulai pengobatannya, ujarnya seraya membawa saya masuk kamarnya. Kamarnya kecil dan pengap. Jendela kecil di samping ranjang tidak terbuka. Sementara ranjang kayu hanya beralaskan kasur yang sudah menipis.

Pak Karyo kemudian memberikan kain sarung. Ia menyuruh saya untuk membuka kulot biru tua yang saya pakai. Risih juga membuka pakaian di depan pria tua itu.

Gantilah, katanya ketika melihat saya masih bengong.
Inilah pertama kali saya ganti pakaian di dekat pria yang bukan suami saya. Di atas ranjang kayu itu saya disuruh berbaring.
Maaf ya, katanya ketika tangannya mulai menekan perut saya.
Terasa sekali jarijari tangan yang kasar dan keras itu di perut saya. Ia menyibak bagian bawah baju. Jari tangannya menarinari di seputar perut saya. Bandar Judi


Sesekali jari tangannya menyentuh pinggir lipatan paha saya. Saya melihat gerakannya dengan nafas tertahan. Saya berasa bersalah dengan Rio.
Ini dilepas saja, katanya sambil menarik CD saya. Oops! Saya kaget.
Ya, mengganggu kalau tidak dilepas, katanya pula.
Tanpa menunggu persetujuan saya, Par Karyo menggeser bagian atasnya. Saya merasakan bulubulu vagina saya tersentuh tangannya. CD saya pun merosot.

Meski ingin menolak, tapi suara saya tidak keluar. Tangan saya pun terasa berat untuk menahan tangannya.
Tanpa bicara, Pak Karyo kembali melanjutkan pijatannya. Jari tangan yang kasar kembali bergerilya di bagian perut. Kedua paha saya yang masih rapat dipisahkannya. Tangannya kemudian memijati pinggiran daerah sensitif saya. Tangan itu bolak balik di sana. Sesekali tangan kasar itu menyentuh daerah klitoris saya. Saya rasa ada getaran yang menghentakhentak. Dari mulut saya yang tertutup, terdengar hembusan nafas yang berat, Pak Karyo makin bersemangat.

Ada yang tidak beres di bagian peranakan kamu, katanya.
Satu tangannya berada di perut, sementara yang lainnya mengusap gundukan yang ditumbuhi sedikit bulu. Tangannya berputarputar di selangkang saya itu. Saya merasakan ada kenikmatan di sana. Saya merasakan bibir vagina saya pun sudah basah. Kepala saya miring ke kiri dan ke kanan menahan gejolak yang tidak tertahankan.

Tangan kanan Pak Karyo makin berani. Jarijari mulai memasuki pinggir liang vagina saya. Ia mengocokngocok. Kaki saya menerjang menahan gairah yang melanda. Tangan saya yang mencoba menahan tangannya malah dibawanya untuk meremas payudara saya. Meski tidak membuka BH, namun remasan tangannya mampu membuat panyudara saya mengeras. Uh, saya tidak tahu kalau kain sarung yang saya pakai sudah merosot hingga ujung kaki. CD juga sudah tanggal. Yang saya tahu hanyalah lidah Pak Karyo sudah menjilati selangkang saya yang sudah membanjir. Terdengar suara kecipak becek yang diselingi nafas memburu Pak Karyo.

Ini permainan yang baru yang pertama kali saya rasaran. Rio, suami saya, bahkan tidak pernah menyentuh daerah pribadiku dengan mulutnya.
Tapi, jilatan Pak Karyo benarbenar membuat dada saya turun naik. Kaki saya yang menerjang kemudian digumulnya dengan kuat, lalu dibawanya ke atas. Sementara kepalanya masih terbenam di selangkangan saya.



Benarbenar sensasi yang sangat mengasyikan. Dan saya pun tidak sadar kalau kemudian, tubuh saya mengeras, mengejang, lalu ada yang panas mengalir di vagina saya. Aduh, saya orgasme! Tubuh saya melemas, tulangtulang ini terasa terlepas. Saya lihat Pak Karyo menjilati rembesan yang mengalir dari vagina. Lalu ditelannya. Bibirnya belepotan air kenikmatan itu. Singletnya pun basah oleh keringat. Saya memejamkan mata, sambil meredakan nafas. Sungguh, permainan yang belum pernah saya alami. Pak Karyo naik ke atas ranjang.
Kita lanjutkan, katanya.

Saya disuruhnya telungkup. Tangannya kembali merabai punggung saya. Mulai dari pundah. Lalu terus ke bagian pinggang. Dan ketika tangan itu berada di atas pantat saya, Pak Karyo mulai melenguh. Jari tangannya turun naik di antara anus dan vagina. Berjalan dengan lambat. Ketika pas di lubang anus, jarinya berhenti dengan sedikit menekan. Wow, sangat mengasyikan. Tulangtulang terasa mengejang. Terus terang, saya menikmatinya dengan mata terpejam.

Bila kemudian, terasa benda bulat hangat yang menusuknusuk di antara lipatan pantat, saya hanya bisa melenguh. Itu yang saya tunggutunggu.
Saya rasakan benda itu sangat keras. Benar. Saat saya berbalik, saya lihat kontol Pak Karyo itu. Besar dan hitam. Tampak jelas uraturatnya. Bulunya pun menghitam lebat.

Mulut saya sampai ternganga ketika ujung kontol Pak Karyo mulai menyentuh bibir vagina saya. Perlahan ujungnya masuk. Terasa sempit di vagina saya. Pak Karyo pun menekan dengan perlahan. Ia mengoyangnya. Bibir vagina saya seperti ikut bergoyang keluar masuk mengikuti goyangan kontol Pak Karyo. Hampir sepuluh menit Pak Karyo asik dengan goyangannya. Saya pun meladeni dengan goyangan. Tubuh kami yang sudah samasama telanjang, basah dengan keringat. Kuat juga stamina Pak Karyo. Belum tampak tandatanda itunya akan menembak.

Padahal, saya sudah kembali merasakan ujung vagina saya memanas. Tubuh saya mengejang. Dengan sedikit sentakan, maka muncratlah. Berkalikali. Orgasme yang kedua ini benarbenar terasa memabukkan. Liang vagina saya makin membanjir. Tubuh saya kehilangan tenaga. Saya terkapar.
Saya hanya bisa diam saja ketika Pak Karyo masih menggoyang. Beberapa saat kemudian, baru itu sampai pada puncaknya. Ia menghentak dengan kuat.

Kakinya menegang. Dengan makin menekan, ia pun memuntahkan seluruh spermanya di dalam vagina saya. Saya tidak kuasa menolaknya. Tubuh besar hitam itu pun ambruk diatas tubuh saya. Luar biasa permainan polisi yang hampir pensiun itu. Apalagi dibandingkan dengan permainan Rio.
Sejak saat itu, saya pun ketagihan dengan permainan Pak Karyo. Kami masih sering melakukannya. Kalau tidak di rumahnya, kami juga nginap di Tawangmangu. Meski, kemudian Pak Karyo juga sering minta duit, saya tidak merasa membeli kepuasan syahwat kepadanya. Semua itu saya lakukan, tanpa setahu Rio. Dan saya yakin Rio juga tidak tahu samasekali. Saya merasa berdosa padanya. Tapi, entah mengapa, saya juga butuh belaian keras Pak Karyo itu. Entah sampai kapan


Ngentot Sehari 3x



Cerita Sex - Ngentot Rame Rame Coy
Misalnya hari ini, hari Selasa di pertengahan bulan yang kebetulan sedang kemarau. Pagi-pagi sekali, sebelum mandi dan sarapan, Bari sudah menelusup ke leher istrinya, mencium dan menggigit-gigit kecil untuk membangunkan Surti. Sebetulnya Surti sendiri sudah terbangun sejak tadi, cuma masih malas membuka mata. Ia memeluk erat-erat suaminya, menggelinjang sambil tertawa kecil.

Kamu tidur dengan pakaian lengkap, seperti mau upacara bendera!”, protes Bari sambil meremas-remas bagian belakang tubuh Surti.

“Ya, ampun” keluh Surti, “Masak seperti ini disebut pakaian lengkap?”.
“Lha, iya!” sergah Bari lagi, “Masak tidur memakai beha dan celana dalam segala”.

Surti tergelak, dia selalu memakai keduanya. Kenapa baru sekarang dipersoalkan? Pasti ada maunya.
“‘Makan’, yuk!”, bisik Bari sambil menelusupkan kepalanya lebih ke bawah lagi, ke antara dua bukit di dada istrinya. Hmm.., lelaki itu selalu suka menghirup keharuman lembut dari sana.
“Aku belum pingin..” goda Surti, tetapi sambil meraih ke belakang dan melepaskan kait BH-nya. Sekejap kemudian ia menarik lolos BH itu dari balik dasternya. Payudaranya segera terbebas.
“Memang aku yang mau makan kamu..”, kata Bari sambil menarik turun daster istrinya.

Segera dada Surti yang subur sekal segar itu terpampang. Cepat-cepat Bari menelusuri bulatan sintal yang menggairahkan itu dengan hidung dan mulutnya. Hmm.., tambah harum jika dicium tanpa penghalang seperti ini.
“Pelan-pelan, yaa..” bisik Surti sambil menggelinjang, “Nanti kamu tersedak”.
Bari menjulurkan lidahnya, menelusuri lembah di antara dua payudara istrinya. Hmm.., agak asin karena ada sedikit bekas keringat di sana. Tapi tambah asyik. Bari naik ke bagian atas, melingkari wilayah bulat coklat hitam di pangkal puting Surti. Hmm.., di sini tidak begitu asin.
“Aah.., geli, Yang..”, desah Surti, tetapi sama sekali tidak bermaksud memprotes.

Bari berputar-putar lagi di tempat yang sama, dengan takjub melihat puting yang tadinya tergolek lemah kini perlahan menegak tegang. Setelah tegak sepenuhnya, tak tahan lagi, Kapok.me Bari memasukkan puting itu ke mulutnya. Pelan-pelan disedotnya daging kenyal hangat itu.
“Aah.., geli sekali, Yaang..” erang Surti, sama sekali tidak memprotes, melainkan justru bermaksud menambah semangat suaminya.
Dalam sekejap puting kiri Surti sudah basah dan berdenyut hangat. Warnanya tidak lagi coklat semata, tetapi juga bertambah gelap dan agak merona merah. Apalagi Bari juga kadang-kadang memainkan lidahnya di dalam mulut, menekan-nekan puting itu ke kiri dan ke kanan.
“Yang satu lagi ngiri, Yaang..” desah Surti gelisah, sambil meremas sendiri payudaranya yang sebelah kanan.

Bari melepaskan mulutnya dari payudara kiri, berpindah cepat ke payudara kanan. Surti mengerang keras, menggelinjang gelisah, karena Bari kini meremas payudara kiri yang telah ditinggalkan mulutnya. Kini kedua bukit gairah sensual itu terasa geli belaka. Sambil mendesis dan mendecap seperti orang kepedasan, Surti memejamkan matanya, menikmati sensasi luar biasa di pagi yang segar ini!




Bari sendiri sangat terangsang kalau bermain-main di payudara istrinya. Ia suka sekali menyedot.., mengulum.., meremas dan kadang menggigit pelan kedua bukit lembut yang hangat dan harum itu. Rasanya seperti bermain-main di suatu masa lampau, mungkin ketika ia masih kecil dulu, dalam buaian Ibu yang memberinya susu penuh gizi. Mungkin semua lelaki begitu, suka bermain-main di susu wanita karena terkenang masa hangat bahagia di pelukan Wanita Mulia yang melahirkannya.

Surti menelentangkan diri, membentangkan tangannya di atas kepala, sehingga dadanya lebih bebas terbuka. Bari mengangkat badannya, naik menjelajah payudara yang menjulang menantang itu dengan gairah yang semakin membara. Lalu satu tangannya merayap turun sambil membawa serta daster istrinya. Sekali tarik, daster itu lolos dari kedua kaki Surti, sehingga kini tinggal celana dalam yang membungkus tubuhnya. Tidak sabar membuka celana dalam itu, Bari menelusupkan tangannya ke bawah, meraih selangkangan istrinya yang dengan otomatis membuka memberi jalan.

“Aah..!” Surti mengerang keras ketika jari tengah Bari menerobos di antara dua bibir di bawah sana. Rasanya seperti dibelah dua oleh kenikmatan!
Sambil terus mengulum dan menyedot dan menggigit, Bari mengelus-elus lembut lembah cinta istrinya yang mulai membasah. Sekali-sekali ujung jarinya memutar-mutar di atas tombol cinta yang cepat sekali mengeras, terselip di pojok atas bibir kewanitaannya. Surti mengerang-erang semakin keras dan semakin gelisah.

“Buka dulu piyama kamu, Yang..” desah Surti sambil mulai membukai kancing-kancingnya. Cukup susah melakukan hal itu karena Bari tidak mau lepas dari dada dan selangkangan istrinya. Tetapi bukan Surti namanya kalau tidak bisa membuka baju suaminya dalam 5 menit.

“Enam sembilan, Yang..” desah Surti gelisah, nafasnya memburu ingin segera diciumi di bawah sana dan juga ingin menciumi suaminya.
Bari tidak banyak membantah dan segera mengatur posisi sehingga kini mereka bisa saling hisap, saling kulum, saling sedot, penuh gairah dan penuh rasa kasih yang tak berbatas. Surti mengerang-erang dengan mulut dipenuhi kejantanan suaminya. Bari mendesah-desah sambil menenggelamkan mukanya di antara dua paha mulus istrinya. Decap dan desah saling bersusulan ramai sekali. Erotik sekali.

Tidak lama kemudian, keduanya tak tahan lagi. Seperti ada komando khusus, keduanya saling memposisikan diri. Surti menelentang dan membuka kedua pahanya lebar-lebar. Bari mengangkat tubuhnya dalam posisi push up di atas tubuh istrinya. Lalu, sambil dituntun tangan Surti, lelaki itu menekan dalam-dalam.
“Aah!” Surti menjerit sambil memejamkan matanya erat-erat. Kejantanan suaminya yang kenyal itu menerobos masuk dengan lancar, langsung membentur bagian yang paling dalam.., langsung memicu orgasmenya. Cepat sekali!

Sambil bertumpu di kedua sikunya, Bari menenggelamkan mukanya di leher Surti yang sudah dibasahi keringat. Sambil mencium dan menggigit-gigit kecil, lelaki itu mulai menggenjot, mengeluar masukkan kejantanannya penuh semangat. Surti mengangkat kedua kakinya, memeluk pinggang suaminya erat-erat, mengunci tubuh yang juga sudah berkeringat itu kuat-kuat. Perjalanan menuju puncak birahi.

“Ah.., yang keras, Yang!” desah Surti, merasakan orgasmenya sudah tiba, dan ia ingin digenjot sekeras-kerasnya!
Bari menekan lebih keras lagi, sampai kadang-kadang ranjang seperti bergeser diterjang tubuhnya. Pangkal kejantanannya membentur lingkar bibir kewanitaan Surti yang sedang berdenyut-denyut mempersiapkan ledakan pamungkas.

“Aah!” Surti menjerit merasakan ledakan pertama menyeruak dari dalam tubuhnya, “Ngga tahan, Yang.., aah!”
Bari terus menekan dan menghunjam, ia sendiri juga sudah ingin meledak rasanya. Seluruh perasaannya seperti ingin tumpah ruah sesegera mungkin. Apalagi otot-otot kenyal di kewanitaan istrinya kini mencekal erat, seperti meremas-remas dan mengurut-urut kejantanannya. Bari juga tidak tahan lagi.

“Uuuh!” pria itu menggeram sambil menggenjot keras-keras lima kali.
“Ah.., ah.., ah.., ah..!” Surti mengerang setiap kali enjotan mahadahsyat itu menerjang tubuhnya.
“Aah!” Bari mengerang keras, menancapkan dalam-dalam kejantanannya dan bertahan di sana ketika lecutan-lecutan ejakulasi melanda seluruh tubuhnya.
“Oooh!”, Surti mendesah panjang merasakan cairah panas tumpah ruah di dalam kewanitaannya dan seperti memberi penyedap utama bagi geli orgasmenya.

Permainan cinta pertama ini cepat sekali. Tidak lebih dari 15 menit. Tetapi dilakukan dengan sangat bergairah, sehingga setelah mencapai puncak, Bari rubuh menubruk istrinya. Surti tersengal menahan tubuh suaminya, dan menelentang tak berdaya dengan sendi-sendi yang seperti copot!
Diperlukan cukup banyak ekstra energi ketika akhirnya Bari bangkit meninggalkan ranjang untuk mandi dan bersiap ke kantor. Surti tinggal di tempat tidur beberapa lama lagi, memejamkan mata, merasakan dan membiarkan cairan cinta mereka perlahan-lahan merayap turun membasahi sprei. Biarlah! sergahnya dalam hati, sudah waktunya sprei itu diganti.
Baru setelah Bari terdengar selesai mandi, wanita itu bangkit dan mengelap tubuhnya sebelum ikut masuk ke kamar mandi. Kemudian keduanya sarapan pagi yang sesungguhnya, sambil tersenyum-senyum mengingat kegilaan mereka pagi ini.
“Makan apa, sih, kamu tadi malam?”, sergah Surti sambil menyuap nasi gorengnya.

“Nggak makan apa-apa. Biasa saja, steak dan kentang goreng” sahut Bari, teringat bahwa tadi malam ia memang makan malam bersama relasi kantor. Tetapi tak ada yang istimewa di makanan itu. Bahkan sebetulnya ia tak makan banyak karena masih merasa kenyang.
“Sering-sering, deh, begitu..”, kata Surti sambil melirik nakal.
“Nanti kamu kewalahan, lho!” kata Bari sambil mencubit hidung istrinya.
“Hey.., siapa bilang!” sergah Surti, “Jangan-jangan kamu yang kewalahan”.
Bari tersenyum sambil meneguk kopinya, “Nanti kita buktikan saja, lah!” katanya.

Dan siang itu Bari menelepon mengatakan akan makan siang di rumah. Surti masih sibuk di studio fotonya ketika Bari tiba dengan dua bungkus mie goreng dan sebotol besar minuman ringan kesukaan mereka. Tahu-tahu suaminya sudah ada di belakang, memeluk dan mencium tengkuknya.
“Sebentar, ya, Yang..” kata Surti sambil membereskan kamera dan film-filmnya, “Kamu duluan, deh. Nanti aku susul ke meja makan!”

“Ngga mau”, kata Bari tetap memeluk dan menciumi kuduk Surti.
“Eh, bandel, ya!” sergah Surti sambil terus bekerja membereskan mejanya, sambil menggelinjang kegelian pula karena diciumi di daerah sensitifnya.
“Biar bandel, asal ganteng!” kata Bari terus mencium, dan sekarang bahkan memegang-megang dada istrinya yang cuma terbungkus kaos. Surti tertawa. Siapa bilang suamiku jelek? katanya dalam hati, dia paling ganteng betapa pun nakal dan bandel dan keras kepalanya!
“Di sini saja, yuk!” bisik Bari sambil menggigit cuping istrinya, membuat wanita itu menjerit kegelian.

“Aduuh, nanti ngga selesai-selesai, nih!”, keluh Surti sambil sibuk menurunkan tangan Bari dari dadanya. Tetapi begitu diturunkan, begitu cepat naik lagi. Bahkan yang satu sudah masuk menelusup ke balik kaos, dan sudah mengusap-usap. Celakanya lagi, dada yang diusap itu bereaksi positif!
“Nanti saja beres-beresnya”, kata Bari lagi sambil menarik istrinya ke sebuah kursi panjang di dekat tembok.
“Eh, apa-apaan.., Koq di sini makannya? Nanti studioku banyak semut!” protes Surti ketika Bari tidak sabar lagi dan membopong istrinya menuju kursi yang selama ini dipakai untuk tiduran kalau Surti ingin beristirahat di tengah kerjanya.’

“Siapa yang mau makan di studio?”, tanya Bari sambil dengan hati-hati menurunkan Surti di atas kursi yang dilengkapi dengan bantal-bantal itu.
“Habis, kita mau ngapain?” Surti mengernyitkan keningnya, melihat suaminya membuka dasi.
“Mau bikin film matinee!” sergah Bari sambil duduk dan menciumi leher Surti.
Astaga! Surti baru sadar apa yang dimaksud suaminya. Gila! Padahal tadi pagi ia sudah mengajak bercumbu. Sekarang, belum lagi pukul 1 siang, dia sudah bergairah lagi. Benar-benar surprise.

Surti menjerit kegelian ketika Bari tiba-tiba menyingkap kaos, dan menenggelamkan mukanya di antara kedua payudara yang memang tak tertutup BH itu. Wanita itu tak bisa banyak bergerak karena di desak sampai ke tembok, dan karena suaminya menindih tubuhnya dengan bergairah. Tetapi tentu saja ia sebetulnya juga tidak mau banyak berontak! Ia suka diperlakukan dengan penuh gairah seperti ini.

“Baju kamu nanti lecek, Yang!” sergah Surti melihat suaminya seperti kesetanan. Biarpun ia sedang kegelian, wanita itu masih sempat memikirkan baju pria kesayangannya! Begitulah mulianya hati seorang istri.
“Nanti ganti saja..”, desah Bari tak peduli. Lelaki memang maunya praktis saja.
“Sabar, Yaang..” bisik Surti sambil menahan tawa karena melihat Bari seperti bayi kehausan mencari-cari puting susunya. “Masih ada waktu, kan?”.
Bari tak menyahut. Ia sibuk menelusup dan menelusur dada istrinya. Lalu sibuk mengulum dan menyedot, membuat si empunya dada mengerang dan menggelinjang.

“aah..” Surti mendesah, mendorong dadanya ke depan sambil merengkuh leher suaminya. Tadi ia bilang “sabar”, sekarang justru dia yang tidak sabar!
Siang ini Surti bekerja dengan kaos t-shirt dan celana pendek longgar. Kaos sudah disingkap sampai ke leher. Maka, sambil menggeliat-geliat merasakan mulut suaminya yang sangat aktif itu, kapok.me Surti membuka celananya sendiri, memelorotkan sekaligus bersama celana dalamnya. Nah, sekarang ia sudah telanjang dari dada ke bawah. Sudah bebas diperlakukan apa saja oleh suaminya.

Bari memposisikan tubuhnya di sisi kursi panjang tempat mereka bercinta. Lalu ia membuka ikat pinggang dan celananya sendiri. Keduanya seperti sudah sepakat untuk saling membuka pakaian tanpa ada aba-aba sebelumnya. Maklumlah, suami istri ini memang sangat kompak!
Tidak lama kemudian keduanya sudah telanjang, walau Bari masih memakai baju dan Surti masih memakai kaos di atas dadanya. Sambil terus mengulum dan menciumi payudaranya, Bari menempelkan tubuhnya lekat-lekat ke tubuh mulus Surti. Hmm.., di siang yang gerah seperti ini, nyaman sekali rasanya bersentuhan kulit dengan orang yang terkasih. Walaupun sebetulnya mereka berdua sudah mulai berkeringat, tetapi tetap saja nikmat rasanya menempel seperti perangko dan amplopnya.
“Ngg..” Surti mengerang sambil merenggangkan pahanya, “Jangan dimasukkan dulu, Yang..”.

Bari tak menyahut, tetapi ia mengerti maksud istrinya. Biar bagaimanapun, istrinya tentu belum siap menerima percumbuan tanpa rencana ini. Harus ada sedikit upaya untuk membuatnya siap. Sedikit saja, tetapi harus!
“mm..” Surti mendesah merasakan ujung kejantanan suaminya menelusur celah sempit di antara kedua pahanya, menimbulkan rasa nikmat yang perlahan-lahan menyeruak ke seluruh tubuh.

Dengan satu tangannya, Bari menuntun kejantanannya naik turun di sepanjang celah yang mulai membasah itu. Oh, geli sekali rasanya ujung kejantanannya menyentuh lembah halus dan licin yang seperti kelopak bunga terkuak perlahan. Sekali-sekali ia memutar-mutar ujung tumpul itu di permukaan liang senggama istrinya, merasakan liang itu semakin lama semakin lebar membuka, menyatakan kesediaan untuk di eskplorasi. Sekali-kali ia naikkan kejantanannya, menggosok-gosok lembut bagian yang tersempil menonjol di lipatan atas bibir kewanitaan istrinya. Itu bagian paling sensitif yang dengan cepat membuat Surti mengerang dan semakin merenggangkan pahanya.
“Aah.., nikmat itu, Yang..” Surti berbisik mendesah dengan mata terpejam, “Oooh.. lagi, Yang!”

Bari mengulang lagi. Dengan sabar ia terus menggosok-gosokkan kejantanannya, menggunakannya sebagai alat pemicu birahi istrinya. Perlahan-lahan ia mulai merasakan celah sempit di bawah itu mulai membuka dan basah. Kalau ia membawa ujung kejantanannya ke liang kewanitaan Surti, terasa liang itu seperti mau menangkap dan menarik kejantanannya masuk. Sekali-sekali Bari memang menenggelamkan seluruh kepala kejantanannya ke dalam. Surtipun mengerang setiap kali suaminya melakukan itu.”mm..” Surti mengerang penuh nikmat, “Dikit lagi, Yang.. ooh”, bisiknya.

Bari mendorong masuk sedikit, sehingga seperempat kejantanannya melesak masuk. Wow.., liang yang dimasuki itu masih agak sempit dan berdenyut-denyut.
“Uuuh..” Surti mendesah sambil menggeliat, “Di situ aja dulu, Yang..”.
Bari tertawa kecil sambil bergumam, “Kamu banyak maunya!”.
Surti ikut tertawa, dan memprotes manja, “Jangan becanda, dong. Aku kan lagi serius, nih!”

Bari menahan tawanya, sambil menciumi leher istrinya yang sedang terpejam dan megap-megap merasakan nikmat. “Ada-ada saja istriku, masak bercumbu saja pake serius-seriusan segala!”, Tetapi Bari memang pernah juga membaca, bahwa wanita memang lebih memerlukan keseriusan dalam bercumbu. Wanita mudah terangsang kalau seluruh pikirannya tercurah untuk percumbuan. Sedikit saja pikirannya terganggu, seorang wanita bisa kehilangan gairah. Walaupun begitu, rasanya dengan Surti teori itu tidak selalu berlaku.
“Aah..” terdengar Surti mulai mendesah lagi, dan pinggulnya berputar-putar gelisah, “Dikit lagi Yang.., tapi jangan semuanya..”

Oke boss! ucap Bari, tetapi dalam hati. Pelan-pelan ia mendorong masuk kejantanannya, menerobos liang yang semakin membuka tetapi juga semakin berdenyut seperti mulut kecil yang sedang sibuk mengulum permen kesukaan. Surti menggeliat dan menggerang lagi. Bari mendorong sedikit lagi, sehingga kini tiga perempat kejantanannya terhenyak sudah.
“Oooh..” Surti mengerang sambil memutar-mutar pinggulnya. Bari bertumpu pada sikunya, berusaha menjaga agar kejantanannya tidak seluruhnya masuk. Dengan gerakan-gerakan Surti, rasanya kejantanan itu seperti sedang mengaduk-aduk sebuah wahana lentur dan kenyal yang basah dan licin. Bari melihat ke bawah, terpesona memandang kejantanannya yang tampak sedikit di atas cekalan bibir kewanitaan istrinya yang berputar-putar penuh gairah.

Surti memejamkan mata dengan nafas memburu, merasakan betapa nikmatnya memutar-mutar pinggul dengan batang kenyal dan padat tertanam sedikit di gerbang kewanitaannya. Gerakan memutar itu menyebabkan seluruh lingkar luar liang senggamanya seperti diurut-urut, menimbulkan rasa geli dan gatal yang menggairahkan. Inilah salah satu pemanasan.., permainan awal.., yang disukainya. Dengan begini, ia akan segera siap menuju langkah berikutnya.
“aah..” Surti mengerang keras, menggeliat gelisah, “Ayo masukin semua, Yang..”

Oke, boss! ucap Bari dalam hati lagi. Pelan-pelan ia menurunkan tubuh bagian bawahnya, dan pelan-pelan kejantanannya melesak masuk sampai ke pangkalnya. Begitu terhenyak 100%, Surti mengerang keras dan menghentikan gerakan pinggulnya. Wow! Bari merasakan dirinya tenggelam dalam lubang dalam yang panas dan basah dan berdenyut. Merasakan ujung kejantanannya membentur dinding halus nan licin bagai sutra dilapisi cairan khusus. Sejenak pria itu diam saja menikmati sensasi luar biasa di sepanjang kejantanannya.

Surti mengerang, mendesah dan merengkuh tubuh suaminya erat-erat. Kedua kakinya membentang seluas mungkin lalu naik memeluk pinggang Bari, mengunci tubuh mereka dalam sebuah persatuan yang menggairahkan. Sejenak mereka diam saja, saling memeluk dan berciuman mesra, merasakan persetubuhan di siang bolong yang terik ini. Keduanya sudah agak berkeringat, dan kedua payudara Surti yang sintal sudah terhenyak rapat di bawah dada suaminya yang masih memakai kemeja. Tak rela berpelukan dengan baju, wanita itu cepat-cepat membuka kancing-kancing suaminya. Sekejap kemudian keduanya mengerang karena akhirnya tak ada lapisan yang membatasi pertemuan tubuh mereka. Kedua puting susu Surti terasa nikmat di tekan dan di tindih oleh dada suaminya yang bidang dan kukuh itu. Baripun merasa nikmat tertelungkup di atas hamparan lembut kenyal dada istrinya.

“Begini aja, yuk!” desah Surti sambil menciumi muka suaminya penuh kemesraan. Ia senang sekali tertancap menjadi satu seperti ini.
“Cuma diam begini?” tanya Bari dengan nada lucu sambil membalas ciuman istrinya.
Surti tertawa kecil di tengah nafasnya yang memburu, “Boleh gerak, dikiit..” bisiknya manja.
“Seperti ini?”, tanya Bari sambil mulai menggerakkan pinggulnya memutar-mutar perlahan.
“Mmhh..” Surti menjawab dengan erangan. Aduh ini, sih, terlalu sedikit, pikirnya menyesal mengatakan “dikit” tadi.
“Atau begini?”, tanya Bari sambil menaik turunkan pinggulnya, pelan-pelan saja.”Aah..” Surti mendesah dengan nafas semakin memburu, “Dua-duanya, Yang.., Oooh.., Aku suka dua-duanya, Yang!”

Bari tersenyum dan dengan gemas mencium mulut istrinya, membungkam si ceriwis yang menggairahkan itu. Segera pula ia mengerjakan “dua-dua”nya, yakni menaik turunkan pinggulnya sambil memutar-mutar. Tetap dengan gerak lambat namun mantap. Kejantanannya dengan perkasa menyeruak masuk ke liang cinta istrinya yang kini sudah terbuka pasrah dan basah. Lancar sekali otot pejalnya itu menerobos, menimbulkan suara-suara seksi berkecipak ramai.

“Aah.., Ngg..”, Surti mengerang tidak karuan sambil megap-megap dan memejamkan matanya, berkonsentrasi menikmati hunjaman suaminya yang perkasa. Bari melepaskan ciumannya, karena Surti seperti ingin bicara. Lalu terdengar wanita itu mendesah penuh permohonan yang manja, “Boleh lebih cepat.., ooh.., Yang.., aku mau, Yang.., aah!”

Pura-pura tidak mau, tahu-tahu paling mau! sergah Bari dalam hati sambil menahan tawanya. Ia mempercepat hunjaman dan tikaman kejantanannya. Kursi panjang tempat mereka bercumbu berderit-derit ramai, karena sebetulnya itu bukan tempat bercumbu. Surti mengerang-erang sambil mencengkram pinggang suaminya, ikut membantu menaikturunkan tubuh Bari. Padahal lelaki itu tak perlu bantuan, tetapi mungkin dengan berpegangan ke pinggang seperti itu, Surti bisa memastikan bahwa suaminya tidak akan berhenti!

Setelah kira-kira selusin kali menggenjot, Bari merasakan liang kewanitaan istrinya menyempit dan mencekal erat. Itu pertanda awal orgasmenya. Surtipun sudah mengerang-erang semakin keras dan menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan. Bari mengerti tanda-tanda ini sepenuhnya. Maka ia mempercepat dan memperkeras gerakannya. Bahkan kadang-kadang ia menghentak dan menghunjam dengan gerakan kasar, membuat kursi panjang bergetar dan bergeser sedikit. Tetapi justru itu membuat Surti tambah keenakan, dan setelah tiga empat kali “dikasari” seperti itu, wanita ini mencapai puncak birahinya.

“mm..” ia mengerang panjang, lalu berteriak pendek-pendek, “Ah.. ah.. ah..!”
Bari menghunjam dalam-dalam, lalu memutar dan menekannya dengan sekuat tenaga.

“Oooh!” Surti menjerit keras, meregang dan melentingkan tubuhnya, lalu terhempas kembali ke bawah sambil bergetar kuat seperti orang yang kena hukuman di kursi listrik. Kursi berderit-derit ramai, dan Bari menekan tubuh istrinya kuat-kuat agar mereka berdua tidak terlempar ke lantai. Bagi Surti, orgasme itu sangat dahsyat. Seluruh tubuhnya ikut tersaput ledakan-ledakan kenikmatan yang bermuara di kedua pangkal pahanya. Dari lembah basah yang tersumpal batang liat dan pejal itulah datangnya gelombang besar yang melanda seluruh tubuhnya.kapok.me Surti seperti merasa berenang terapung dan terombang-ambing dalam lautan nikmat yang merasuk ke seluruh pori-pori tubuhnya. Beberapa menit kesadarannya seperti hilang dan tubuhnya lepas dari kendali, bergerak-gerak liar ke segala arah.
Setelah beberapa saat menggelepar dan meregang menikmati orgasmenya, Surti berhasil menguasai diri, lalu mendesah dengan suara letih, “Aduuh.., gila kamu, Yang.., bikin aku ketagihan”

Bari tertawa kecil sambil menggigit dagu istrinya tercinta, “Ini mau protes atau mau bilang terima kasih?”, tanyanya.

Surti tak menjawab, melainkan meraih leher suaminya, menciumi mulut pria yang sangat dicintainya itu. Mereka saling mengulum dan menggigit gemas. Surti menumpahkan seluruh perasaannya lewat ciuman itu. Ia ingin berterima kasih.., ia ingin memuji.., ia ingin memuja.., ia ingin menyatakan cinta. Tak ada pria lain yang ia cintai seperti pria yang satu ini. Pria ini membuatnya lebih hidup dari sekedar hidup, lebih bernafas daripada sekedar bernafas. Pria ini mengisi dunianya dengan gairah baru setiap hari.
Lalu, di tengah ciuman yang bergelora itu, mereka mulai bergerak lagi. Bari mulai menggenjot lagi, mulai memicu kembali gairah Surti yang belum sepenuhnya reda. Tak berapa lama kemudian mereka sudah tak sanggup lagi berkata-kata. Nafas keduanya memburu dan saling bersusulan, disertai erangan dan desahan yang tidak beraturan. Kursi panjang semakin bergeser dari kedudukannya semula. Bantal-bantal berserakan tertendang atau terdorong oleh gerakan-gerakan mereka yang semakin liar. Keringat mulai membanjiri tubuh mereka, membuat kemeja Bari basah kuyup di bagian punggung. Tubuh bagian bawah, terutama dari pinggang ke bawah, tampak paling basah, berkilat-kilat seperti dilapisi lilin dan minyak.

Lalu Surti mencapai orgasmenya yang kedua tanpa bisa ditahan lagi. Wanita itu menggelepar dan mengerang-erang sambil memejamkan matanya erat-erat. Wajahnya tampak berkonsentrasi dan merona merah mempesona. Mulutnya terbuka dan nafasnya keluar dalam hempasan-hempasan pendek. Bari terus menggenjot karena ia juga sudah mencapai tarap akhir pendakian asmara ini. Ia tidak berhenti walau tampaknya Surti telah kewalahan menahan rasa geli yang memuncak. Wanita itu berusaha memperlambat gerakan suaminya, tetapi ia juga tak berdaya karena setengah dari tubuhnya ingin tetap menikmati hunjaman-hunjaman Bari. Akhirnya ia menyerah saja, menggeletak dan meregang-regang terus menikmati orgasmenya yang sambung-menyambung.

Lalu Bari mencapai puncak birahinya. Pria itu menggeram dan mengerang keras. Seluruh otot di tubuhnya meregang seakan beramai-ramai mendorong keluar cairan cinta dari pinggangnya ke kejantanannya. Lalu sejenak ia terdiam, menanamkan dalam-dalam kejantanannya di liang cinta istrinya.., dalam sekali, sampai melesak ke pangkalnya.., sampai menyentuh langit-langit terdalam kewanitaan istrinya. Surti menguakkan kedua pahanya seluas mungkin, merasakan kejantanan suaminya seperti membesar sepuluh kali lipat.., sebelum akhirnya batang keras itu melonjak-lonjak liar dan menyemprotkan cairan-cairan kental panas. ooh, kewanitaan Surti seperti sebuah ladang kering yang tersiram hujan yang dinanti-nanti sejak lama!
Siang itu, Bari makan sangat lahap. Nyaris ia habiskan kedua bungkus mie goreng yang tadi dibawanya. Nyaris pula ia meneguk habis minuman ringan dingin dalam botol ukuran 1 liter itu. Surti tak henti-hentinya memperingatkan agar suaminya makan lebih lambat. Wanita itu kuatir Bari tersedak atau terserang kram perut.

“Duuh.., pelan-pelan, Yang!” sergah Surti sambil menyingkirkan jauh-jauh botol minuman yang tinggal seperempatnya.
“Tadi, waktu aku pelan-pelan, kamu suruh cepat-cepat..” sahut Bari sambil menyuap satu sendok penuh mie goreng yang lezat itu.
Surti tertawa, mengerti apa yang dimaksud suaminya, “Lho, tadi itu, kan perkara lain. Lagipula pada awalnya, kan juga pelaan.., sekali!” katanya manja. Bandar Judi

“Ah, kamu memang suka ngatur..” protes Bari sambil terus menyuap, padahal mulutnya belum kosong sekali.
Surti mencubit lengan suaminya dengan gemas, “Alaah.., Kamu juga suka kan, diatur kalau lagi begitu!” katanya membela diri.
“Oke, nanti malam kamu atur lagi, ya” kata Bari sambil meraih botol minuman yang sudah disingkirkan jauh-jauh. Tanpa gelas, ia meneguk isinya langsung.
Surti membelalakan matanya yang mempesona itu, “Nanti malam? Ya ampun. Belum cukup juga, Yang?”

Bari tertawa, hampir saja tersedak. Surti menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar mengherankan, apakah ia begitu karena sebentar lagi ulang tahunnya yang ke 32? pikir Surti sambil menatap suaminya lekat-lekat. Kalau sedang tertawa, suamiku makin muda saja tampangnya. Makin cute dan makin menggemaskan. Nanti malam, harus kuapakan dia?
Bari pulang kantor dengan bersiul-siul. Jam baru menunjukkan pukul 5 sore. Walau tampak riang, jelas juga terlihat bahwa pria itu agak letih. Surti menyambut pasangan hidup terkasihnya di depan pintu, menerima tasnya, dan membiarkan tubuhnya yang segar karena baru habis mandi, dipeluk oleh suaminya.

“Hmm.., harumnya istriku”, bisik Bari sambil menciumi leher Surti.
“Hmm.., baunya suamiku”, sergah Surti menggoda. Sebetulnya, Bari tak pernah punya persoalan bau badan. Tetapi agaknya suaminya tadi rapat di ruang penuh asap rokok. Bau kretek menyengat dan mengganggu.
“Iya, deh. Aku mau langsung mandi!”, kata Bari sambil merengut merajuk dan melepaskan pelukannya.

Surti tertawa dan tidak mau melepaskan diri dari suaminya, ia merangkul leher pria kesayangannya dengan manja.
“Aku mandiin, yaa..” katanya sambil menciumi pipi Bari yang masih menyisakan sedikit harum after shave.
“Ngga mau. Nanti ngga jadi mandi, malah tambah keringetan..” sergah Bari sambil terus melangkah ke kamar tidur, menyeret serta istrinya yang terus merangkul manja.
“Diganggu sedikit saja sudah ngambek!” sergah Surti sambil menggigit pelan cuping telinga suaminya.

Akhirnya Surti melepaskan suaminya. Setelah berganti baju dan sejenak membaca koran sore, Bari mandi sepuas-puasnya. Segar sekali mengguyur badan yang penat dengan air dingin. Sementara Surti menyiapkan kopi dan makanan kecil kegemaran suaminya. Tetapi rupanya Bari memang cukup penat hari itu. Karenanya, pria itu tergolek tidur di kursi sebelum menghabiskan kopinya. Surti terenyuh melihat suaminya terlena dengan wajah damai. Sejenak ia berpikir untuk membatalkan semua rencananya malam ini. Kasihan kalau ia memaksa diri, bisik wanita itu. Dengan hati-hati diletakkannya bantal di bawah kepala suaminya. Lalu perlahan ia mencium pipi lelaki itu. “Tidur nyenyak, sayang..”, bisiknya dalam hati.

Rumah pasangan itu pun menjadi sepi, dan Surti punya banyak waktu memilih-milih foto yang akan dipakai untuk membuat brosur pesanan sebuah maskapai penerbangan dalam negeri. Entah berapa lama Bari tertidur lelap. Surtipun semakin asyik bekerja di studionya, lupa waktu. Malam telah menggelap, ketika tiba-tiba wanita itu teringat suaminya yang ditinggal di ruang keluarga. Sambil menggeliatkan tubuhnya yang terasa pegal duduk menekuni slide di atas meja observasi, Surti bangkit menuju ruang tengah.

“Hei.., sudah bangun kasihku cintaku”, sergah Surti karena ternyata Bari sudah bangun, walaupun masih bermalas-malasan.
Dengan cepat Surti sudah berada di sisi suaminya, menciumi pipi lelaki pujaannya itu dengan penuh kasih sayang sambil bertanya, “Mau makan sekarang?”.
“Makan kamu?”, goda suaminya sambil mengacak-acak rambut Surti dengan gemas.

“Ah! Orang sudah letoy begitu, masih nantangin!”, sahut Surti sambil balas mengacak-acak rambut suaminya.
“Eh.., jangan memandang rendah kekuatan seorang pria, ya!” sergah Bari sambil mencoba bangkit, tetapi tidak bisa karena Surti tahu-tahu sudah duduk di pangkuannya.

“Bukan begituu..” sahut Surti serius, “Kamu memang kelihatan letih. Perlu di isi dulu dengan makan malam yang sedap dan penuh energi!”
“Lalu.., setelah di isi?” tanya Bari sambil mencoba bangkit lagi, tetapi gagal lagi karena Surti malah menelungkup di dada suaminya.
“Ya.., gimana nanti saja!” sahut Surti sambil memeluk erat-erat suaminya dan menyembunyikan mukanya di leher orang yang sangat dicintainya itu.
“Ah, kamu ini memang suka ngatur..”, sergah Bari sambil menepuk pantat istrinya dengan gemas.

“Kan, memang itu permintaan kamu tadi siang.., nanti malam kamu atur lagi, ya.., Ya, kan!?” sahut Surti tak mau kalah.
“Oke!, Oke!” Bari menyerah, “Sekarang, bagaimana kita bisa makan kalau aku di-kelonin terus seperti ini?”.
Surti tertawa, lalu bangkit dan menyeret suaminya ke meja makan. Mereka menyantap ikan gurame goreng kering dan lalap aneka daun, plus sambal terasi.

Selesai makan malam yang telah betul-betul membuat Bari segar kembali, sepasang suami istri itu duduk berdampingan menonton berita malam di televisi. Seperti biasa, Surti manja merebahkan kepalanya di dada Bari yang bidang, memeluk erat lengannya, dan menopangkan satu kaki di atas pangkuan lelaki itu. Nyaman sekali rasanya berduaan seperti ini, di malam sepi yang mulai ramai penuh suara unggas malam.

Berbagai berita bermunculan di layar, tetapi Surti tak terlalu tertarik. Baginya, suami yang pulang dengan sehat dan cerita, lebih penting dibandingkan perang di sana-sini, persoalan politik di mana-mana, atau selebriti dunia yang muncul tenggelam. Semuanya tidak relevan buat Surti, sepanjang Bari ada di sampingnya, dalam pelukannya, dalam jangkauan ciumannya.

“Aku besok mau cuti saja”, celetuk Bari ketika acara siaran berita menjelang usai.
“Cuti bagaimana?”, tanya Surti sambil memejamkan mata menikmati detak teratur jantung suaminya yang dekat sekali di telinganya.
“Ya cuti.., artinya tidak masuk kantor.., Tinggal di rumah.., Satu hari penuh.., Dari pagi sampai malam..” ujar Bari seperti orang membacakan arti ‘cuti’ di kamus bahasa.

“Dan boleh begadang..”, sambung Surti cepat-cepat.
Bari tertawa, “Ya. Betul.., boleh begadang. Tapi buat apa begadang, kalau tidak ada yang dikerjakan”, katanya.
“Ngerjain aku, dong..” sergah Surti manja sambil memeluk lebih erat.
“Ngga mau”, kata Bari kalem, “Malam ini, kan kamu yang ngatur.., Aku sih, terima beres saja, kan?”

Surti tertawa tergelak, “Kamu betul-betul ngga mau ngalah sama istri, ya!” sergahnya sambil mencubit pipi suaminya dengan gemas, tetapi cepat-cepat ia lalu mencium tempat cubitan itu ketika suaminya mengaduh.
“Memang begitu, kok, perjanjiannya..”, kata Bari bersikeras.
“Ayo dong, ke kamar” sergah Surti, tetapi ia sendiri masih memeluk suaminya, masih merebahkan kepala di dadanya.

“Kamu yang harus bisa membuat aku mau ke kamar”, jawab suaminya.
Surti mengangkat mukanya, “Eh.., begitu ya? Jadi aku harus merayu, begitu?” tanyanya sambil melebarkan kedua matanya yang indah itu.
Bari menghindari tatapan istrinya, pura-pura tertarik menonton berita terakhir. Surti menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak, lalu bertanya, “Aku harus berbuat apa supaya kamu mau ke kamar?”.
Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi, Bari menyahut kalem, “Bagaimana kalau kamu menari bugil..”.
“Apa?”, jerit Surti sambil lebih membelalakkan matanya, “Ih, pikiranmu jorok ah!”.

Bari terlonjak karena dicubiti oleh istrinya di pinggang, di perut, di paha, di dada, di mana-mana. Lelaki itu tertawa-tawa kegelian, dan senang karena bisa membuat istrinya terdesak dalam perdebatan. Sekarang ia tinggal menunggu, maukah Surti melakukan apa yang dimintanya itu.
Setelah puas mencubiti suaminya, Surti berseru, “Baik! Jangan tinggalkan tempat.., Saya akan kembali sebentar lagi!”
Bari tersenyum enteng, tetapi sesungguhnya ia berdebar juga. Tegang sendiri memikirkan apa yang akan dilakukan istrinya.

Surti menghilang ke dalam kamar cukup lama. Bari berkali-kali menengok, kuatir jangan-jangan istrinya meninggalkannya tidur. Jangan-jangan ia mempermainkan aku, pikirnya. Tetapi ia tidak beranjak dari kursi di depan TV yang sudah menyelesaikan tayangan siaran berita, berganti siaran musik. Ia masih menunggu, dan berharap akan benar-benar mendapat “pertunjukan istimewa” dari istri tercintanya.

Lalu tiba-tiba lampu ruangan mati. Bari tersentak, dan belum sempat menengok mencari siapa yang iseng mematikan lampu, TV-pun ikut mati. Sialan! sergah pria itu, istriku ternyata membawa remote control, dan pasti dia yang iseng.

“Jangan becanda, ah..” Bari hendak mengeluh, tetapi lalu lampu di pojok ruangan menyala. Sinarnya hanya temaram, menimbulkan suasana romantis. Dan di sana.., di depan pintu kamar tidur.., Surti berdiri dengan daster tipis yang menampakkan bahunya yang putih mulus. Ada tali kecil yang mengaitkan daster itu ke bahunya. Dalam sinar yang temaram, Surti tampak bagai sebuah manequin di etalase toko. Daster itu terlalu tipis untuk bisa menyembunyikan tubuhnya yang telanjang. Tetapi karena sinar temaram, Bari tidak bisa melihat seluruh tubuh istrinya. Lelaki itu melongo.
“E-e-e..” Surti berbisik sambil mengacungkan dan menggoyang-goyangkan telunjuknya.

“Jangan beranjak dari tempat duduk..”
Bari yang sudah siap bangun, kembali duduk, lalu tersenyum menikmati pemandangan di depannya. Boleh juga gaya istriku! sergahnya dalam hati. Mari nikmati saja pertunjukkan ini.

Surti melangkah perlahan meninggalkan pintu kamar ke arah tengah ruangan. Langkahnya gemulai, meniru Miranda di cat walk. Sudah beberapa kali Surti menonton sahabat cantiknya itu beraksi. Ia sudah tahu bagaimana berjalan agar terlihat seksi dan menawan. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis menggoda. Satu tangannya di letakkan di belakang pinggangnya, dan satu lagi melenggang santai. Bari tersenyum lebar. Bravo! tukasnya dalam hati, kalau dia sudah bosan memotret, bolehlah melamar jadi peragawati!

Sekitar tiga langkah di depan suaminya yang tertegun, Surti berhenti. Perlahan-lahan wanita seksi itu memutar tubuhnya 360 derajat. Bari berhenti tersenyum. Ia menahan nafas, melihat tubuh istrinya melintas bagai film slow motion, menerawangkan kemulusan yang tak tertutup oleh pakaian dalam. Payudara yang sintal dan tegak menantang itu terlintas, perut yang datar dan dihiasi noktah pusar bagai lesung pipit, lembah di antara dua paha yang samar-samar terlihat, dua bukit di pantatnya yang padat berisi sungguh menggemaskan. Satu persatu pemandangan indah itu melintas untuk ditatap sepuas hatinya.

Surti melakukan gerakan memutar perlahan itu dua kali. Satu ke arah kiri, satu lagi ke arah yang berlawanan. Setelah putaran kedua, Surti diam sejenak menghadap suaminya dengan kedua kaki tegak agak terentang. Ia menahan tawa melihat suaminya menelan ludah berkali-kali. Rasain!, sergahnya dalam hati, biar dia betul-betul kepengin!

Lalu, sambil tetap berdiri tegak terentang itu, Surti perlahan-lahan mengangkat satu tangannya untuk diletakkan di belakang leher. Ketiaknya yang bersih mulus segera terpampang, dan seberkas keharuman yang lembut menyeruak penciuman Bari, membuat pria itu menghela nafas dalam-dalam. Pria itu juga kemudian menahan nafas, ketika dengan perlahan-lahan, menggunakan satu tangan yang lainnya, Surti menurunkan kait daster di bahu kirinya.



Daster itu merosot sedikit. Pelan-pelan bagian atas payudara kiri Surti menyeruak. Bari menelan ludah. Bukit indah di dada istrinya itu terlihat indah kalau hanya sebagian terkuak. Samar-samar ia bisa melihat puting susunya yang kini menjadi satu-satunya penyangga sehingga daster itu tidak merosot terus untuk menampakkan seluruh bola putih mulus. Ingin rasanya Bari bangkit dan menarik daster itu. Tetapi ia tidak boleh bergerak, bukan?

Lalu Surti menggunakan tangan yang tertumpang di belakang lehernya untuk melepaskan kait daster yang lain. Dan seperti sebelumnya, daster itu merosot perlahan. Kini tertahan oleh tangan Surti yang berada di depan dadanya, sedikit di bawah kedua putingnya. Dengan cara ini, Surti menampilkan bagian atas kedua payudaranya yang ranum membusung menawan itu. Bari menelan ludah lagi, sungguh seksi terlihat istrinya, dengan dua bukit yang mengintip malu-malu dan bahu mulus terpampang bebas. Ingin sekali ia membenamkan mukanya di sana. Ingin sekali! tetapi tidak bisa, bukan?

Sambil tersenyum menggoda, Surti menurunkan sedikit tangannya yang berada di depan dada. Sedikit saja, sehingga kini sebagian dari putingnya tampak mengundang selera. Lalu wanita itu melangkah mundur perlahan-lahan. Bari mengernyitkan dahi agar bisa terus memandang jelas. Sialan! sergahnya dalam hati, kenapa dia musti mundur?

Setelah cukup jauh, dan bahkan hampir menyentuh tembok di seberang Bari, wanita seksi itu berhenti lalu berputar membelakangi suaminya. Sambil menengok dengan gayanya yang manja, Surti menggunakan satu tangannya untuk menarik bagian belakang dasternya pelan-pelan ke atas. Bari terhenyak di kursinya, merasakannya nafasnya cepat memburu, ketika melihat paha istrinya yang mulus tersingkap sedikit demi sedikit. Kain tipis itu terus naik, perlahan-lahan menampilkan bagian belakang tubuh Surti yang indah dan menggemaskan. Bari menahan nafas, ketika seluruh bulatan seksi pantat istrinya terpampang bebas. “Oh.., mengapa ia harus berdiri jauh-jauh begitu!”, keluh Bari.

Apalagi kemudian perlahan-lahan Surti merenggangkan kedua kakinya dan perlahan-lahan pula membungkuk sambil tetap menahan tepian daster di pinggangnya. Bari semakin terhenyak di kursinya, memandang istrinya pelan-pelan menungging. Pantatnya yang seksi pelan-pelan menjadi bagian yang paling tinggi. Dan.., Wow.., kewanitaan istrinya terlihat indah dari belakang, agak sedikit terkuak menampakkan bagian yang tersembunyi. Bari menelan ludah entah sudah berapa kali, belum pernah ia melihat istrinya begitu menggiurkan seperti ini. Tak sadar, kejantanannya menegang membentuk sebuah tonjolan di depan celananya.

Untuk beberapa jenak Surti tetap membungkuk memamerkan bagian paling sensual dari tubuhnya. Setelah hitungan ke sepuluh, cepat-cepat wanita itu menegakkan lagi tubuhnya, sekaligus melepaskan dasternya turun menutupi kembali pantatnya. Terdengar jelas Bari mendesah kecewa, dan Surti menahan tawanya. “Malam ini dia harus memohon-mohon untuk bisa menjamahku!”, sergah Surti dalam hati.

Lalu Surti berbalik lagi menghadap suaminya. Masih dengan posisi kaki agak terentang, ia melepaskan pegangan tangannya pada bagian atas dasternya. Dengan cepat, karena sudah tak terkait lagi di bahu, daster tipis itu meluncur turun. Tubuh yang menggiurkan, mulus tanpa cela, seksi, sensual, erotis, menggemaskan, mengundang remasan, putih bersih halus. Wow!, Bari berkali-kali menjerit kagum di dalam hati. Baru kali ini, ia bisa betul-betul menikmati pemandangan tubuh istrinya, padahal sudah seringkali mereka bercumbu bertelanjang bulat. Tetapi baru kali ini Bari sadar bahwa istri tercintanya adalah sebuah keindahan yang tidak hanya harus digumuli diremas, tetapi juga dipandang sepenuh kalbu.

Surti menarik sebuah kursi di dekatnya. Pelan-pelan ia duduk, tanpa sedetikpun mengalihkan pandangannya dari Bari, tanpa berhenti tersenyum tipis menggoda. Setelah duduk, perlahan-lahan Surti mengangkat satu kakinya untuk ditopangkan di sandaran kursi. Pelan-pelan Bari melihat selangkangan istrinya terkuak. Bari menahan nafas menunggu sampai lembah cinta yang selalu nikmat untuk ditelusuri dengan jari atau lidahnya itu betul-betul terkuak sempurna. Wajah Surti merona nakal dan genit menggoda, ketika akhirnya kakinya tertumpang di sandaran kursi. Selangkangannya terkuak sempurna. Terpampang sepenuhnya untuk dipandang sepuasnya oleh sang suami.



Bari bersiap untuk bangkit, tetapi gerakannya terhenti karena Surti cepat sekali mengangkat telunjuknya dan berdesah seksi, “Ssst.., jangan beranjak.., tetap di tempatmu..”.
Bari kembali duduk, dan lalu membelalakkan matanya melihat apa yang sedang dikerjakan istrinya.

Surti memasukkan satu jari tengahnya ke mulutnya. Pelan sekali, dengan gaya seksi, wanita itu menyedot-nyedot jarinya sendiri, membuatnya basah dari ujung sampai ke pangkalnya. Lalu, Surti menggunakan jari yang basah itu untuk membuat sebuah alur. Pelan-pelan ia mengguratkan jarinya dari dagu, turun ke leher, turun ke antara dua bukit payudaranya, berputar naik ke salah satu putingnya yang segera bereaksi tegak lalu turun lagi ke perutnya, berputar-putar di pusarnya lalu terus turun. Bari menelan ludah dan menahan nafas. Jari itu terus turun ke selangkangan menyerong sedikit untuk melintas cepat di lepitan pertemuan antara paha dan pinggulnya lalu menyelinap di antara dua bibir kewanitaannya. Naik ke atas sampai ke lepitan yang menyembunyikan tombol asmaranya berputar sejenak di sana lalu turun lagi.

Mulut Surti terbuka sedikit, senyumnya menghilang. Gerakan ini sebetulnya di luar rencana. Wanita sensual ini tadinya hendak menghapuskan gerakan ini dari acting-nya. Tetapi entah kenapa kini ia ingin melakukannya. “Aku akan mencobanya!”, sergah Surti dalam hati. Mudah-mudahan bisa.

Nafas Bari memburu keras. Ia sudah sangat terangsang oleh semua pertunjukkan Surti, tetapi kali ini benar-benar nyaris tak tertahankan karena tahu apa yang dilakukan istrinya. Wanita yang selalu menggiurkan baginya itu melakukan hal yang tak terduga, merangsang dirinya sendiri di hadapan suami. Betapa erotiknya pemandangan itu.., melihat seseorang yang terkasih merangsang dirinya sendiri, terbuka tanpa tedeng aling-aling menikmati jarinya yang lentik turun naik menelusuri lembah cintanya.
Dan Surtipun merasakan darahnya berdesir cepat ketika perlahan-lahan kenikmatan datang dari gerakannya sendiri. Ia sendiri tak kuasa lagi mencegah gerakan tangannya, yang seakan-akan secara otomatis naik turun sepanjang kanal senggamanya. Pelan-pelan kanal itu semakin basah, dan semakin lancarlah perjalanan sang jari yang lentik.

Untuk beberapa saat Bari ragu-ragu, apakah aku harus membantu? pikirnya. Tetapi ia lalu memutuskan untuk duduk saja menonton gerakan-gerakan erotis itu. Wajah Surti kini merona merah, dan matanya meredup sayup. Mulutnya semakin terbuka, dan nafasnya mulai terdengar memburu. Berkali-kali ia kelihatan menggeliat tertahan, terutama jika ujung jarinya seperti tak sengaja menyentuh bagian atas kewanitaannya.
Surti tak bisa menahan sebuah erangan keluar dari mulutnya. Sejenak ia memejamkan mata, mengurut-urutkan jarinya agak lebih keras di kanal cintanya. Beberapa kali ia melakukannya. Lalu ia membuka mata kembali, memandang suaminya yang masih duduk dengan wajah terpesona. Ia tersenyum manis. “Nah, apakah sekarang dia masih tidak mau ke kamar?”, pikir Surti sambil menghentikan kegiatannya. Sambil tetap tersenyum, cepat-cepat ia bangkit dan melangkah menuju kamar. Gerakan ini dilakukan tiba-tiba, karena memang dimaksudkan sebagai surprise.

Bari tersentak ketika menyadari istrinya telah hampir sampai di kamar. Ia ragu-ragu, apakah sudah boleh berdiri dan ikut ke kamar? Ia baru saja hendak bertanya, ketika dilihatnya istrinya berhenti di ambang pintu dan menengok ke arahnya dengan gaya manja campur genit. Lalu istrinya berkata pelan nyaris berbisik, “Kalau mau masuk, ketok pintu dulu, ya!”.
Belum sempat Bari mencerna ucapan itu, Surti sudah menghilang masuk kamar dan menutup pintu. Ketika terdengar suara kunci diputar, barulah Bari terlonjak bangun. Cepat-cepat ia melangkah ke kamar, dan mengetuk. Satu kali, tidak ada reaksi. Dua kali, hanya terdengar istrinya bergumam tak jelas. Tiga kali, terdengar langkah menuju pintu. Empat kali, terdengar suara Surti menggoda dari balik pintu, “Siapa itu?”.

“Buka, dong, Yang..”, ujar Bari dengan gaya memelas.
“Nanti dulu, saya pakai baju dulu..” kata Surti sambil menahan tawa.
“Aku nyerah, Yang.., Please jangan pakai baju lagi..” kata Bari betul-betul penuh dengan permohonan yang tulus.

Surti tertawa cekikikan mendengar ucapan suaminya. Tak tega, ia segera membuka pintu.

Apa yang kemudian terjadi di kamar itu, tak usahlah diceritakan secara rinci. Pokoknya, kegairahan suami istri itu muncul berkali-lipat lebih besar daripada percumbuan pagi hari maupun siang hari. Bari melumat habis istrinya, dan Surti megap-megap menikmat serbuan suaminya. Satu jam lebih mereka bergumul. Silakan bayangkan sendiri apa yang mereka lakukan!